Tata Ruang Bencana Harus Digarap untuk Meminimalisir Akibatnya
Ferry Mursyidan Baldan menyebutkan, pihaknya ingin berperan mencegah terjadinya sebuah bencana dengan menggarap tata ruang bencana.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan menyebutkan, pihaknya ingin berperan mencegah terjadinya sebuah bencana dengan menggarap tata ruang bencana.
Menurutnya, penanggulangan bencana sangat mendesak melihat potensi bencana yang tinggi di beberapa daerah. Khususnya, masalah relokasi warga dari wilayah rawan bencana, bukan cuma penanganan saat bencana terjadi.
Untuk itu pihaknya ingin menggandeng Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif untuk menggarap tata ruang ini.
"Harus kita siapkan. Agar bisa minimalisir dampaknya," kata Ferry saat membuka Lokakarya 'Peran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam Mitigasi dan Penanganan Pascabencana di Pulau Jawa Bagian Selatan' di Kantor Kementerian ATR, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, Kamis (4/6/2015).
Bencana, kata dia, adalah fakta yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Dia mencontohkan, longsor yang terjadi di Banjarnegara, Jawa Tengah pada Desember 2014.
Dari sana dia melihat perlunya tata ruang bencana ini kemudian dapat menjadi dasar untuk relokasi warga pascabencana.
"Kami diminta cari tanah yang jadi relokasi masyarakat. Ada tapi jaraknya 20 km. Bagi kita di kota tak terlalu jauh tapi Tetap tidak mudah," katanya.
Ferry mengatakan, masalah yang biasa timbul dalam relokasi warga adalah ikatan emosional mereka terhadap tanah kelahirannya. Warga sulit ketika harus diminta pindah terlalu jauh.
Pada penanganan relokasi warga Gunung Merapi, contoh Ferry, warga masih perlu diberikan kesempatan untuk bersinggungan kembali dengan tanah miliknya. Mereka, lanjut dia, berharap ikatannya dengan tanah kelahiran tak putus.
Untuk menyiasati hal itu, jelas Ferry, Kementerian ATR akhirnya memberikan sertifikat tanah bagi para warga relokasi Gunung Merapi.
Mereka diperbolehkan bertani di tanah asalnya, namun tak boleh membangun rumah dan tinggal di sana.
"Ternyata memindahkan hidup enggak mudah. Memberi sertifikat ke mereka ternyata mereka terharu," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.