Antena Radio Dituding Jadi Penyebab Jatuhnya Hercules
Tak lama setelah mesin keempat mati, sejumlah saksi melihat pesawat tersebut menabrak sebuah antena pemancar radio
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --Kadispen TNI AU, Marsekal Pertama Dwi Badarmanto mengatakan hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab kecelakaan pesawat Hercules di Medan, Selasa (1/7/2015).
Namun, ia memastikan pesawat buatan tahun 1964 tersebut terbilang layak terbang. Sebab, pesawat tersebut telah melalui perawatan rutin hingga pemeliharaan skala besar tiga tahunan dan "turun mesin" atau overhaul 3600 pada 2013 dengan sisa 74 jam terbang.
"Sebelum dari Lanud Soewondo Medan telah dilakukan pengecekkan mesin. Sudah terbukti, pesawat itu berangkat dari Lanud Abdurachman Saleh ke Lanud Halim, kemudian ke Pekanbaru, Dumai dan berangkat ke Medan, dan ternyata tak masalah," ujarnya.
Menurut Dwi, dugaan awal jatuhnya pesawat Hercules C-130 yang menelan korban lebih 122 orang meninggal dunia itu karena kerusakan pada mesin nomor 4 pesawat.
Pilot pesawat Hercules tersebut, Kapten Penerbang Sandy Permana sempat kontak dengan menara Lanud Soewondo dan meminta kembali ke landasan karena adanya gangguan pesawat.
"Itu ada masalah di mesin atau di engine nomor empat, yang paling kanan, paling luar," ungkapnya.
Dwi mengakui, secara teori pesawat Hercules tersebut seharusnya masih bisa diterbangkan kendati satu mesin mati. Namun, karena adanya gangguan mesin, pesawat belum sempat berada pada posisi ketinggian yang ideal sehingga masih pada ketinggian rendah yakni 100 feat atau sekitar 30 meter setelah dua menit lepas landas dari Lanud Soewondo, Medan.
Tak lama setelah mesin keempat mati, sejumlah saksi melihat pesawat tersebut menabrak sebuah antena pemancar radio milik warga, Joy Fm, sehingga pesawat diperkirakan sulit dikendalikan dan sempat oleng.
"Saat itu masih ada antena. Kalau itu (kondisi medan) flat (datar), pesawat itu masih bisa terselamatkan. Karena ada beberapa teman yang punya pengalaman seperti itu," katanya.
Menurutnya, lokasi di Medan berbeda dengan kondisi di sekitar Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta, yang tidak ada antena atau bangunan tinggi melebihi batas aturan International Civil Aviation Organization (ICAO).
Seharusnya, pangkalan udara TNI sepanjang ring 1 atau 5 Km dari landasan pacu bersih dari halangan atau obstacle.
Sementara, antena pemancar radio tersebut setinggi 35 meter dan berada pada jarak 3,2 Km dari garis luar landasan pacu Lanud Soewondo, Medan.
Oleh karena itu, hasil investigasi awal dari TNI AU disimpulkan antena pemancar radio tersebut menyalahi aturan ICAO.
"Dalam konteks penerbangan nggak boleh. Di Halim sini kan enggak ada (yang seperti itu). Lingkungan bandara itu kan orang membangun semaunya. Ada antene yang sekian meter tingginya. Kalau saja kita berandai, menurut pengalaman penerbangan itu bisa di selamatkan," ujarnya.
Ia menambahkan, atas kejadian ini, pihak TNI AU bersikap menunggu hasil pembahasan pemerintah dan DPR perihal peningkatan anggaran alutsista.
"Anggaran itu domain pemerintah. TNI AU sebagai pengguna anggaran, kami mengajukan anggaran setinggi-tingginya. Tapi, kalau pemerintah nggak mampu? Mau diapakan. Jadi, sudah ada porsi masing-masing. Meski, harapan kami agar itu dipenuhi, kami minta dikasih. Tapi, tentu kami tahu diri akan kemampuan pemerintah," tukasnya. (coz)