Potensi Konflik Pilkada Serentak 3 Kali Lebih Besar dari Pemilu Nasional
Peran Badan Pengawas Pemilu dan Panwaslu sangat besar guna menekan potensi kisruh Pilkada Serentak.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peran Badan Pengawas Pemilu dan Panwaslu sangat besar guna menekan potensi kisruh Pilkada Serentak. Karena itu Bawaslu terus memperbaharui formulanya agar dapat mencegah terjadinya konflik pada pesta demokrasi di daerah.
"Walaupun kewenangan penegakan hukum itu tetap diberikan ke Bawaslu dan Panwaslu, tetapi bagi kami upaya-upaya serius dalam rangka pencegahan dapat perhatian lebih tinggi," kata Ketua Bawaslu, Muhammad, Kamis (9/7/2015).
Meski demikian, tak hanya Bawaslu dan Panwaslu yang berkewajiban menjaga ketertiban penyelenggaraan Pilkada, melainkan semua pihak. Termasuk para kontestan yang mencalonkan diri.
Apalagi berdasarkan kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), potensi konflik pada Pilkada itu tiga kali lebih besar daripada pemilu nasional.
"LIPI memprediksi dinamika dan potensi konflik tiga kali lebih besar dari pemilu nasional. Karena Pilkada ini sangat lokalistik, hanya di kabupaten, kota, dan provinsi," kata Muhammad.
Belum lagi faktor elite politiknya sendiri yang terbatas, karena pilkada serentak tak seperti pemilu legislasi yang memiliki daerah pemilihan. Sehingga area kompetisinya sangat sempit, padahal pendukungnya menumpuk di satu daerah.
"Kalau caleg kan punya dapil dimana-mana. Nah kalau calon bupati, calon wali kota, calon gubernur terbatas wilayah kompetisinya. Sehingga dinamika atau potensi kompetisi politiknya sangat tinggi," kata dia.
Faktor yang berpotensi selanjutnya adalah peraturan yang dibuat KPU bahwa pilkada serentak dilakukan dengan sistem satu putaran saja.
"Ini Paling memprihatinkan dan mendapat perhatian kita semua. Jadi, calon yang mendapat lebih (walaupun cuma) satu suara dari peserta lain, itu ditetapkan sebagai pemenang," ujarnya.