Perdebatan Soal Lembaga yang Berwenang Hitung Kerugian Negara
Sidang praperadilan Dahlan Iskan keempat ini memasuki agenda mendengarkan pendapat ahli yang diajukan oleh pihak pemohon.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada sidang lanjutan praperadilan yang diajukan mantan Direktur Utama PT. PLN sempat terjadi perdebatan ketika membahas bukti kerugian negara.
Sidang praperadilan Dahlan Iskan keempat ini memasuki agenda mendengarkan pendapat ahli yang diajukan oleh pihak pemohon.
Made Darma Weda, ahli pada persidangan hari ini sempat berdebat dengan Tim kuasa hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ketika mendapat pertanyaan mengenai lembaga yang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara.
"Hanya BPK yang berwenang menghitung jumlah kerugian keuangan negara akibat korupsi setahu saya, BPKP tidak berwenang," kata pakar hukum pidana tersebut saat menjawab pertanyaan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengenai lembaga yang berkewangan hitung kerugian negara.
Dosen hukum pidana Universitas Krisna Dwipayana, Jakarta itu berpendapat berdasarkan undang-undang No.15 tahun 2006 yang menyatakan hanya BPK yang memiliki kewenangan hitung kerugian keuangan negara.
Menanggapi jawaban Made Darma Weda, pihak Kejaksaan menyatakan bahwa berdasarkan undang-undang No.20 tahun 2002, BPK juga dapat menghitung kerugian negara.
"Apa susahnya minta pendapat BPK," jawab Made Darma Weda atas pernyataan pihak termohon.
Merasa ahli yang diajukan mendapat paksaan dari pihak termohon, anggota Tim Pengacara Dahlan Iskan langsung menyampaikan keberatan.
"Jangan ahli dipaksakan pendapat saudara," kata Pieter Talaway, anggota Tim Pengacara Dahlan Iskan.
Lembaga yang berkewenanga kerugian keuangan negara menjadi perdebatan di persidangan praperadilan ini menjadi perdebatan akibat pihak pemohon mengajukan keberatan atas bukti kerugian negara yang dipakai Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam menentukan Dahlan Iskan sebagai tersangka.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ketika menentukan Dahlan Iskan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan 21 gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 5 Juni 2015, satu di antara bukti adalah adanya kerugian keuangan negara yang diaudit oleh BPKP.
Menurut Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Dahlan, berdasarkan fatwa Mahkamah Agung dan UU No.15 tahun 2006 hanya BPK yang berkewenangan menghitung kerugian keuangan negara.
Sedangkan Bonaparte Marbun, Ketua Tim kuasa hukum termohon menyatakan suatu lembaga dapat menghitung kerugian keuangan negara berdasar pada kompetensinya.
"Penyidik Kepolisian, Kejaksaan dan KPK masih minta bantuan BPKP," ujar Bonaparte Marbun di PN Jakarta Selatan, Rabu (29/7/2015).
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan mantan Direktur Utama PT PLN, Dahlan Iskan, sebagai tersangka pada 5 Juni 2015 atas dugaan korupsi pengadaan garduk induk listrik Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Dahlan Iskan tak menerima penetapannya sebagai tersangka sehingga mengajukan gugatan permohonan praperadilan terhadap Kejaksaan Tinggi DKI ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.