Aktivis 98: Segera Eksekusi Aset Keluarga Soeharto
Aktivis 1998 yang kini menjabat Anggota DPR RI Masinton Pasaribu mendesak negara segera mengeksekusi putusan MA itu.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) membuat Yayasan Supersemar bentukan mantan Presiden Soeharto harus membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 4,4 triliun.
Menyikapi hal itu, Aktivis 1998 yang kini menjabat Anggota DPR RI Masinton Pasaribu mendesak negara segera mengeksekusi putusan MA itu.
"Segera negara mengeksekusi putusan MA itu. Mengeksekusi aset-aset keluarga Soeharto untuk membayarkan kerugian negara Rp 4,389 triliun itu."
"Harus segera dieksekusi, jangan ditunda-tunda lagi, agar pengembalian kerugian negara bisa cepat terealisasi. Juga untuk menjaga aset-aset dari keluarga Cendana itu tidak bisa dialihkan ke orang lain, untuk menghindari eksekusi negara," tegas Masinton ketika dikonfirmasi, Selasa (11/8/2015) petang.
Putusan MA ini, menurutnya, sebagai pembuktian bahwa pemerintahan Orde Baru dibawah rezim Soeharto adalah pemerintahan yang korup.
"Putusan MK itu membuktikan rezim Soeharto dibangun dengan Korupsi. Karena itu, segera Keputusan MK itu harus segera dieksekusi untuk dikembalikan ke Negara uang yang dikorupsi tersebut," tegasnya.
Diketahui, seperti dikutip harian Kompas, Selasa (11/8/2015), Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar harus membayar 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Apabila 1 dollar AS sama dengan Rp 13.500, uang yang dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar atau semuanya Rp 4,389 triliun.
Juru bicara MA, Suhadi, mengaku belum mengetahui detail putusan tersebut. "Namun, kalau (putusan) sudah ada di website, itu benar adanya," ujar Suhadi.
Situs resmi MA mencantumkan, majelis PK yang terdiri dari Suwardi (ketua majelis), Soltoni Mohdally, dan Mahdi Soroinda mengabulkan PK yang diajukan Negara RI cq Presiden RI melawan mantan Presiden Soeharto dan ahli warisnya. Majelis yang sama menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 140 PK/PDT/2015 tersebut dijatuhkan pada 8 Juli.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung Noor Rachmat mengaku belum mengetahui putusan tersebut. Namun, ia memastikan Kejagung memang mengajukan PK atas kesalahan ketik yang ada dalam putusan MA tahun 2010 terkait dengan perkara gugatan terhadap mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Supersemar.
"Kami pernah mengajukan karena ada salah ketik jumlah dalam putusan," ujar Noor Rachmat.
Pada 2010, MA memutuskan mantan Presiden Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis kasasi yang dipimpin Harifin A Tumpa dengan hakim anggota Rehngena Purba dan Dirwoto memutuskan mereka harus membayar kembali kepada negara sebesar 315 juta dollar AS (berasal dari 75 persen dari 420 juta dollar AS) dan Rp 139,2 miliar (berasal dari 75 persen dari Rp 185,918 miliar).
Persoalan muncul ketika terjadi kesalahan dalam pengetikan putusan. MA tidak menuliskan Rp 139,2 miliar, tetapi Rp 139,2 juta alias kurang tiga angka nol.
Kasus ini bermula ketika pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, di antaranya PT Bank Duta 420 juta dollar AS, PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar. Negara mengajukan ganti rugi materiil 420 juta dollar AS dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar bersalah menyelewengkan dana. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.