SP JICT Sayangkan Aksi Pasang Badan Erry Riyana terhadap Pelanggaran Konsesi JICT
SP melihat ada upaya sengaja untuk menyebarkan ‘kebohongan’ secara terencana dalam rangka mensukseskan perpanjangan konsesi JICT ke HPH.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serikat Pekerja (SP) Jakarta International Container Terminal (JICT) heran dan prihatin pernyataan Erry Riyana, Lin Che Wei dan Natalie Subagio dari Komite Pengawas Pelindo yang terkesan pasang badan untuk melindungi Direktur Utama Pelindo II RJ Lino dalam kasus perpanjangan JICT ke Hutchison Port Holding (HPH) Hongkong yang jelas-jelas melanggar UU dan merugikan Negara.
SP JICT prihatin karena digambarkan perpanjangan konsesi JICT pada HPH berlangsung dengan cara yang benar dan taat hukum.
Padahal perpanjangan konsesi yang diputuskan Lino itu memiliki cacat mendasar: perpanjangan konsesi dilakukan tanpa meminta izin pada Menteri Perhubungan sebagaiamana diwajibkan dalam UU Pelayaran 2008.
Demikian dikatakan Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan kepada pers di Jakarta, Selasa (11/8/2015).
"SP heran bahwa Erry dan kawan-kawan yang selama ini dikenal sebagai tokoh anti korupsi mengabaikan begitu saja ketentuan hukum tersebut. Bahwa Erry dan kawan-kawan adalah Komite Pengawas seharusnya tidak membuat mereka kehilangan objektivitas dan integritas," kata Nova Sofyan.
SP heran dengan pernyataan Erry dan kawan-kawan yang menyatakan proses perpanjangan konsesi JICT ke HPH berlangsung transparan dan melalui tender. Menurut SP JICT, nampaknya Erry dan kawan-kawan sudah dibohongi atau memperoleh informasi salah.
Nova menjelaskan Lino menandatangani perjanjian amandemen untuk memperpanjang konsesi JICT pada HPH pada 5 Agustus 2014. Kemudian Lino atau Pelindo II memasang iklan satu halaman di harian Kompas 9 Agustus 2014, yang menyatakan bahwa perpanjangan konsesi tersebut dilakukan "Tanpap Melalui Tender".
"SP juga merasa heran dengan pernyataan Natalie Subagjo yang menyatakan HPH membayar uang muka sebesar USD 215 juta (yang sebenarnya hanya setara dengan keuntungan JICT selama dua tahun) dan uang sewa USD 85 juta fix per tahun," kata Nova.
Dengan mengatakan itu, lanjut Nova, Natalie nampaknya ingin menunjukkan bahwa perpajangan konsesi itu sebenarnya menguntungkan Indonesia.
"SP heran dengan penjelasan Natalie karena faktanya HPH hanya membayar uang muka sedangkan uang sewa per tahun itu akan dibayar oleh JICT atau perusahaan. Tentu saja menjadi pertanyaan besar bahwa asset nasional sebesar JICT yang menangani volume barang 70% di Jakarta hanya dihargai USD 215 juta oleh HPH dan disepakati Pelindo II," kata dia.
Selain itu, SP tidak sepaham dengan pernyataan Lin Che Wei yang menyatakan HPH layak mengoperasikan JICT karena sudah mengenal medan internasional. Pernyataan Lin bahwa perlu masa uji coba dan pendapatan perusahaan bisa berkurang jika operator JICT berganti merupakan kesalahan besar.
“Lin meremehkan kemampuan anak bangsa sendiri tanpa mempelajari kondisi sesungguhnya. SP merasa mentalitas semacam ini yang menyebabkan Indonesia selalu diekspolitasi dan dipandang sebelah mata di dunia,” tegasnya.
Nova menegaskan SP JICT tidak pernah melakukan sabotase. Yang dilakukan SP JICT adalah aksi solidaritas terhadap dua pegawai JICT yang dipecat secara semena-mena tanpa tunduk pada prosedur hukum yang benar. Begitu kedua pegawai itu dipekerjakan kembali, aksi solidaritas pun dihentikan.
“SP khawatir bahwa bila Komite Pengawas sampai menggunakan data yang salah dan tidak akurat secara mendasar seperti ini, Komite Pengawas memang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik,” tambah Nova.
Namun lebih dari itu, SP melihat ada upaya sengaja untuk menyebarkan ‘kebohongan’ secara terencana dalam rangka mensukseskan perpanjangan konsesi JICT ke HPH.
“Agar persoalan ini tidak berlarut-larut dan mengorbankan banyak pihak, SP meminta Pemerintah turun tangan dengan menghentikan perpanjangan konsesi JICT, meninjau kembali pilihan-pilihan yang ada secara seksama dan segera mengambil keputusan sesuai hukum dan kepentingan rakyat seluas-luasnya sesuai prinsip Nawacita,” kata Nova.