Kasus Pemalsuan Surat Tanah Dirut Anak Perusahaan AG Naik Penyidikan
untuk membuktikan adanya penggelapan maka penyidik akan fokus lebih dulu pada pemalsuannya
Penulis: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan pemalsuan dan penggelapan tanah SHGB yang dilakukan Dirut PT Adyaesta Ciptatama, Johnny Wijaya naik statusnya ke tahap penyidikan.
Menurut Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso pihaknya kini tengah mendalami dugaan pemalsuan surat berharga sebidang tanah seluas 300 hektar di Karawang, Jawa Barat tersebut.
"Pemalsuannya dulu. Karena (kasus ini) sudah naik ke penyidikan," kata Budi Waseso di Mabes Polri, Jakarta, Kamis(27/8/2015).
Budi Waseso menjelaskan untuk membuktikan adanya penggelapan maka penyidik akan fokus lebih dulu pada pemalsuannya.
"Tapi belum bisa dibuktikan tentang pemalsuannya karena barang bukti untuk pembanding (dari BPN) nya belum," ujar Budi Waseso.
Selain itu, lanjut Budi Waseso penyidik juga akan memanggil Direktur anak perusahaan Adyaesta Grup (AG), Johnny Wijaya untuk diperiksa dalam kasus yang dilaporkan Victoria Securities International Corporation (VSIC).
PT Adyaesta Ciptatama merupakan sebuah perusahaan yang terkait kasus dugaan korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Kala itu PT Adyaesta Ciptatama meminjam sekitar Rp266 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990.
Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukkan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang Adyaesta. Victoria Securities International Corporation (VSIC) kemudian membeli aset itu dengan harga Rp 32 miliar.
Seiring waktu, pihak Adyaesta ingin menebus aset tersebut, namun, VSIC menyodorkan nilai Rp2,1 triliun atas aset itu. Pasalnya, nilai utang tersebut setelah dikalkulasi dengan jumlah bunga dan denda, saat ini sudah bernilai Rp3,1 triliun.
Pada 2013, pihak Adyaesta melalui kuasa hukumnya Jhonson Panjaitan kemudian melaporkan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset yang dinilai merugikan negara.
Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.