EWI Nilai Tuduhan Rizal Ramli soal Mafia Pulsa Listrik Sangat Serius
Tuduhan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli tentang mafia pulsa listrik adalah tuduhan sangat serius.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tuduhan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli tentang mafia pulsa listrik adalah tuduhan sangat serius. Apalagi tudingan itu bersumber dari seorang Menteri Koordinator yang tentu itu bukan tuduhan main main apalagi hanya sebuah sinyalemen.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean menegaskan, sebagai Menko, Rizal Ramli tentu punya data dan informasi yang falid dan aktual tentang apa yang disampaikannya.
"Karena jika tidak, tuduhan tersebut bisa menjadi fitnah dan menimbulkan kegaduhan baru di negara ini," tegas Ferdinand kepada Tribunnews, Jakarta, Selasa (8/9/2015).
Karena itu pula, dia meminta PLN membuka data dan informasi kepada publik tentang tata cara perhitungan atau formula yang digunakan dalam menjual pulsa listrik/token.
"Komponen apa saja yang dimasukkan dalam penentuan harga," ujarnya.
Dengan itu, lebih jelas dan transparan, berapa biaya administrasi, biaya materai, berapa pajak penerangan jalan dan berapa rupiah per KWH yang didapat rakyat sehingga masyarakat lebih mengerti. Ini yang harus dibuka ke publik segera oleh PLN.
Atau jika masih ada komponen lain yang harus dibayar masyarakat, imbuhnya, selain beberapa komponen diatas harus dibuka.
"Sehingga jelas dan jernih. Dengan demikian kita akan tahu letak mafianya dimana, apakah di biaya administrasi? biaya materai? pajak PJU? ini harus dijelaskan," tandasnya,
"Terlebih pajak PJU di setiap daerah berbeda besarnya sesuai PP 65 yang diizinkan antara 0 hingga 10 persen dari biaya listrik. Ini harus dibuka segera supaya negara ini tidak gaduh setiap hari," ujarnya.
Rizal Ramli meminta Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basyir untuk menetapkan biaya administrasi maksimal untuk pulsa listrik. Sebab, kata Rizal, masyarakat pelanggan pulsa listrik sistem prabayar sering kali mendapat pulsa listrik jauh lebih rendah daripada nominal yang dibeli.
"Mereka membeli pulsa Rp 100.000, ternyata listriknya hanya Rp 73.000. Kejam sekali, 27 persen kesedot oleh provider yang setengah mafia," kata Rizal saat konferensi pers di Jakarta, Senin (7/9/2015).
Menurut dia, keuntungan yang diraup provider pulsa listrik sangat besar. Rizal pun membandingkan dengan pulsa telepon seluler. Pertama, tidak seperti pulsa listrik, pulsa telepon dapat dibeli dengan mudah di mana pun.
"Kedua, kita beli pulsa isi Rp 100.000, kita hanya bayar Rp 95.000 karena itu kan uang muka. Provider bisa taruh uang mukanya di bank dan dapat bunga," ujar Rizal.
Selain soal mahalnya biaya administrasi untuk pulsa listrik, Rizal juga menyoroti kebijakan pulsa listrik itu sendiri. Menurut Rizal, hal tersebut disebabkan adanya monopoli di tubuh PLN.
"Di zaman dulu sampai sekarang, masyarakat itu diwajibkan pakai pulsa karena ada yang 'main' monopoli di PLN di masa lalu," kata Rizal.
"Itu kejam sekali karena ada keluarga yang anaknya masih belajar pukul delapan malam pulsa listriknya habis, padahal tidak semudah nyari pulsa telepon. Nyarinya susah," ujar dia.
Atas dasar itu, dia pun meminta dua hal kepada Sofyan Basyir. Pertama, PLN harus menyediakan masyarakat pilihan listrik meteran atau pulsa listrik. Kedua, biaya maksimal administrasi pulsa listrik Rp 5.000 sesuai dengan kesanggupan PLN.
"Menurut saya, mohon segera dilakukan dua keputusan tadi," katanya kepada Sofyan Basyir.