Politikus PDIP: Setya Novanto Bertemu Trump untuk Bisnis Pribadi
"Harusnya dia bisa lebih memisahkan politik DPR dengan personal interest-nya. Dia datang seperti partner bisnis," ucap Diah.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Diah Pitaloka, menilai, Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyalahgunakan kekuasaannya dengan menemui bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, beberapa waktu lalu.
Pasalnya, imbuh Diah, pertemuan tersebut difasilitasi oleh bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo.
Setelah pertemuan itu, tepatnya pada Jumat (11/9/2015) lalu, Hotel Trump Collection menyetujui kerja sama dengan MNC Group untuk membuat kawasan resor dan taman hiburan di Lido, Bogor, Jawa Barat.
"Itu artinya, dia (Novanto) investasi untuk keuntungan dirinya sendiri. Dia bukan investasi untuk bisnis negara," kata Diah kepada Kompas.com, Minggu (13/9/2015).
Diah mengatakan, sebagai seorang pengusaha, sah-sah saja apabila Setya Novanto bekerja sama dengan Hary Tanoesoedibjo untuk melobi Donald Trump menyetujui pembangunan proyek di Lido.
Namun, masalahnya, Novanto dalam pertemuan tersebut datang dan dikenalkan dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR.
Novanto pun menemui Trump di sela-sela tugasnya sebagai Ketua DPR untuk menghadiri konferensi ketua parlemen dunia.
"Harusnya dia bisa lebih memisahkan politik DPR dengan personal interest-nya. Dia datang seperti partner bisnis," ucap Diah.
Anggota Komisi II DPR ini pun menegaskan bahwa mencari investasi tidak termasuk dalam tugas dan wewenang DPR. Seharusnya, Novanto lebih memercayakan hal ini kepada lembaga eksekutif.
"Itu kan harusnya tugas Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, atau Presiden, bukan tugas Ketua DPR," ucapnya.
Diah bersama rekan anggota DPR yang berasal dari parpol Koalisi Indonesia Hebat telah melaporkan kehadiran Novanto dan rombongan di kampanye Trump ke Mahkamah Kehormatan Dewan.
Mereka menganggap kehadiran anggota DPR tersebut melanggar kode etik yang diatur dalam Pasal 292 Tata Tertib DPR. MKD pun memutuskan mengusut kasus ini tanpa aduan karena sikap pimpinan DPR itu sudah menimbulkan kehebohan publik.