Masinton Duga Ada Upaya RJ Lino Salahgunakan Opini Luluskan Konsesi JICT
Legal opini jamdatun yang menyatakan Pelindo II dapat memperpanjang konsesi JICT berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata tidak tepat dan tidak mendasar.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - "Saya menduga ada upaya "menyalahgunakan" opini tersebut. Ada sisi lex specialis yang seharusnya ditinjau dalam keputusan perpanjangan konsesi JICT."
Demikian disampaikan Masinton Pasaribu, Anggota Komisi III Fraksi PDI Perjuangan menanggapi pengakuan Direktur Utama PT Pelindo II, J.R Lino melakukan perpanjangan konsesi JICT atas dasar opini Jamdatun saat di depan Panja Komisi VI DPR RI.
Menurut Masinton, Legal opini jamdatun yang menyatakan Pelindo II dapat memperpanjang konsesi JICT berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata tidak tepat dan tidak mendasar.
Karena mengesampingkan UU Pelayaran yang merupakan lex specialis. Pun tidak kontekstual dan cenderung tak sesuai dengan paradigma hukum modern.
Seharusnya prinsip kebebasan berkontrak, vide pasal 1338 KUH Perdata merupakan prinsip hukum yang berlaku awal abad 19 sewaktu doktrin pemikiran ekonomi Welfare State, dipahami sebagai prinsip negara hukum kesejahteraan.
Artinya, kata dia, Negara lakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan.
Tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut yang dalam konstitusi kita menjadi dasar dibentuknya perusahan negara BUMN (state of entrepreneurship).
Karena itu, tegas dia, Undang-undang yang seharusnya dijadikan pijakan perpanjangan konsesi JICT adalah UU no 17 tahun 2008 tentang pelayaran.
"Maka tindakan IPC/Pelindo II memperpanjang kontrak JICT yang terindikasi kuat tidak berpijak pada UU tersebut adalah sebuah kebijakan yang cacat hukum. Karena itu kontrak tersebut bisa dibatalkan," tegas Politisi PDI Perjuangan ini kepada Tribun, Jakarta, Sabtu (19/9/2015).
Disisi lain legal opini jamdatun tidak mengikat secara hukum, karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang mengaturnya, yaitu UU Pelayaran tersebut.
"Legal opini jamdatun tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lex spesialis derogat legi generalis," tandasnya.
Dalam ilmu perundang-undangan, jika peraturan yang bersifat umum dan khusus bertemu, maka yang dipakai adalah yang bersifat khusus, demikian dia mengingatkan R.J Lino.
"Rasanya sudah banyak bantahan terhadap apologia (kebohongan) R.J Lino tentang Opini Jamdatun yang dijadikan dasar konsesi JICT-HPH Hongkong," ujarnya.
Melihat hal itu, kata dia, Publik pun bisa menilai. Bagi Masinton, kini saatnya hukum bertaring. Sebagai negara hukum (rechtstaat), tak bisa dibenarkan sebuah tindakan yang hanya berpijak pada kekuasaan semata (machtstaat).
"Saatnya Revolusi Mental dijalankan dalam penegakkan hukum Indonesia. Salah satunya, tuntaskan "Pelindo Gate" dengan perundang-undangan yang berlaku, tegakkan hukum tanpa tebang pilih dan tanpa intervensi!!" Demikian Masinton.