ICW Menuntut Penghentian Kasus Bambang Widjojanto
Dibalik proses hukum terhadap BW patut diduga muncul motif balas dendam dari petinggi Polri
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch menilai bahwa proses hukum dan penetapan sebagai tersangka terhadap Bambang Widjojanto (BW), Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Non-Aktif telah keluar dari misi penegakan hukum yang sebenarnya.
"Pembiaran terhadap proses hukum ini hanya akan menjatuhkan wibawa aparat penegak hukum, sekaligus menurunkan kepercayaan publik terhadap program penegakan hukum itu sendiri," kata Adnan Topan Husodo
Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch dalam surat terbukanya, Selasa (29/9/2015).
Kasus dugaan pidana menyuruh melakukan sumpah palsu dan keterangan palsu (Pasal Pasal 242 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 266 ayat (1) KUHP ) yang dituduhkan terhadap BW sudah penuh kontroversi sejak awal.
Sejak kasus ini dilaporkan oleh S Sabran pada 15 Januari 2015 lalu, Bareskrim Polri yang dipimpin Budi Waseso hanya membutuhkan waktu 4 hari untuk menetapkan tersangka atas nama BW, atau beberapa hari selepas KPK menetapkan Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka penerima gratifikasi. Terakhir Bareskrim butuh waktu 8 bulan untuk melimpahkan berkas perkara BW ke Kejaksaan Agung RI.
Dalam perkembangannya, proses hukum terhadap BW dipenuhi oleh berbagai motif non-hukum. Di balik proses hukum terhadap BW patut diduga muncul motif balas dendam dari petinggi Polri karena pencalonannya sebagai Kapolri berupaya digagalkan, juga dugaan motif balas dendam oknum personel Kepolisian yang menangani langsung perkara BW serta dugaan motif agar mendapat promosi jabatan di lingkaran Mabes Polri.
Salah satu dugaan ini diperkuat dengan adanya promosi terhadap Victor Simandjuntak sebagai Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Mabes Polri. Victor merupakan salah satu personel Kepolisian yang membantu penanganan perkara BW sehingga ditetapkan sebagai tersangka.
Lebih lanjut, proses hukum terhadap BW penuh dengan kejanggalan. Diantaranya rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menyatakan bahwa terdapat mal-administrasi dalam penanganan kasus BW oleh Mabes Polri.
Kesimpulan itu juga didukung oleh Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan penyidik Polri dalam menangani perkara BW.
Kejanggalan lain juga ditunjang oleh kesimpulan hasil pemeriksaan PERADI yang menyatakan bahwa BW tidak melakukan pelanggaran etika dalam menangani gugatan hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara itu, proses hukum terhadap BW di Mabes Polri juga tercatat menyisakan banyak cela. Diantaranya bahwa penetapan tersangka atas nama BW mendahului tindakan hukum yang semestinya dilakukan sebelum tersangka ditemukan.
Selanjutnya, upaya penangkapan (upaya paksa) terhadap BW dilakukan sebelum proses administrasi penanganan perkara dilakukan, seperti tidak adanya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan tanpa diawali dengan surat panggilan yang wajar.
Berikutnya, pelapor kasus BW merupakan kategori pelapor yang diragukan memiliki itikad baik, terutama dikaitkan dengan rekam jejaknya sebagai pengusaha hutan di Kalimantan dimana dalam beberapa kasus pembalakan liar, dan jenis tindak pidana lain kerap dikaitkan dengan namanya.
Pada saat yang sama, Bareskrim Polri, meskipun dengan pergantian Kabareskrim, dari Komjen Budi Waseso kepada Komjen Anang Iskandar tidak membuat proses hukum terhadap BW berhenti.
Alih-alih melakukan internal audit terhadap proses hukum yang terkait dengan BW, Kabareskrim Polri baru tetap melanjutkan perkara BW dan telah melimpahkan berkas perkara BW ke Kejaksaan Agung RI untuk selanjutnya ditangani oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat .
Dengan mengacu pada berbagai penjelasan diatas, sudah saatnya Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menggunakan wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya untuk melindungi lembaga penegak hukum dari praktek kesewenang-wenangan, dan pemanfaatan lembaga penegak hukum serta diskresi penegakan hukum oleh segelintir elit di lembaga penegak hukum untuk kepentingan diri mereka sendiri.
"Tidak ada pilihan lain bagi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo kecuali memerintahkan Jaksa Agung untuk menghentikan semua proses hukum kepada BW demi mengembalikan citra dan wibawa penegakan hukum ke tempat yang semestinya. Prinsip rule oflaw bukanlah prinsip penegakan hukum yang serampangan, sembarangan, penuh dengan kesewenang-wenangan, rekayasa, dan berbagai macam praktek kotor lainnya, melainkan prinsip penegakan hukum yang profesional, mentaati prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia," papar Adnan Topan Husodo.