Kesaksian Prajurit KKO Pengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi
Sebelum peristiwa 30 September 1965, Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin sudah berada di Ancol, Jakarta Utara
Editor: Rachmat Hidayat
Setelah bertemu dan memastikan meminta bantuan, Venkandou dan Soegimin kemudian berangkat ke Bandar Udara Halim Perdanakusumah.
Namun, sesampai disana, Venkandou dan Seogimin kesulitan mencari dimana lokasi Lubang Buaya.
Venkandou cerita, ketika itu, Bandara Halim sudah dikuasai oleh TNI Angkatan Udara. Keduanya tiba di Bandara Halim, subuh, 4 Oktober 1965.
Dua polisi militer Angkatan Udara kemudian menghampirinya, memastikan mengetahui lokasi lubang buaya yang dimaksud.
"Tiba-tiba ada dua polisi dari angkatan udara merapat kepada kita. Kemudian menawarkan, mau ke lubang buaya, mari saya antar," cerita Venkandou
Lokasi Lubang Buaya, cerita keduanya saat itu sudah dikuasai oleh pasukan RPKAD.
Keduanya, pun tak bisa sembarangan masuk.
Venkandou mengungkap, setelah dua jam menunggu barulah bisa masuk ke lokasi sumur yang dijadikan oleh PKI sebagai lubang penyimpanan tujuh jenazah para jenderal.
"Sampai di depan pintu mau masuk Lubang Buaya, ada perintah selain dari pasukan RPKAD, tidak boleh ada yang masuk. Saya masih muda ketika itu, ya ngamuk. Saya mau datang nolong kok ngga boleh. Memang situasi ketika itu sulit membeadakan mana kawan mana lawan, " ungkapnya.
Setelah diperbolehkan masuk, keduanya kemudian melakukan orintasi keadan lubang dan lain sebagainya.
Jenazah Kapten Piere Tendean pertama kali yang berhasil diangkat.
Cerita keduanya, jenzah ajudan Jenderal Nasution ini diangkat oleh prajurit kader RPKAD bernama, Anang.
"Ketika itu kami sempat menawarkan kalau ada yang masuk. Akhirnya kami yang menyelesaikan mengangkat enam jenazah lainnya," cerita keduanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.