Masyarakat Kemandoga Berharap Jadi Kabupaten Baru di Papua
Karena daerah Kamandoga adalah daerah kaya pertambangan khususnya emas
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehadiran UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua seharusnya sudah bisa memberikan angin segar bagi rakyat Papua, namun kenyataan tidak demikian.
Harapan pemekaran Kabupaten Kemandoga di wilayah Paniai, Kemandoga bisa digambarkan seperti hujan yang sedang jatuh di antara tanah yang telah tandus sekian lama.
Menurut Ketua Tim Pemekaran Kemandoga Wily Bardaus Magai mengatakan, masyarakat Kamandoga sebagai pemilik hak ulayat tanah Paniai selalu dan selalu memimpikan bisa melihat sebuah daerah baru (Kabupaten) untuk menjawab segala kerinduan dan tangisan masyarakat.
"Karena daerah Kemandoga adalah daerah kaya pertambangan khususnya emas, namun keadaan masyarakat tidak berubah dan solusinya adalah pemekaran," kata Wily kepada wartawan di ruang Ketua Komite I DPD RI, Senayan Jakarta, Jumat (30/10/2015)
Menurutnya, Kemandoga memiliki 12 Distrik yang sangat luas dan sampai saat ini semua persyaratan untuk melakukan pemekaran sudah terpenuhi, hanya tinggal menunggu rekomendasi dari Bupati Paniai.
"Selain itu kajian ilmiah sebagai persyaratn juga sudah terpenuhi dan rekomendasi dari pemerintah pusat sampai provinsi sudah ada. Namun kabupaten belum ngasih rekomendasi," ujarnya.
Dengan mekarnya Kabupaten Kemandoga, berbagai kendala yang sering menghambat majunya perkembangan infrastruktur bisa teratasi. Seperti sektor pendidikan yang sangat tertinggal serta sektor perekonomian lainnya.
Sementara itu, Ketua Komote I DPD RI Achmad Mukowam yang ditemui para Panitia Pemekaran Kabupaten Kemandoga mengatakan, pemerintah saat ini sedang memperketat tentang pemekaran wilayah pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Dalam UU itu, diatur bahwa syarat pemekaran wilayah harus memenuhi syarat fisik, syarat layak keuangan, hingga syarat geo hazard.
"Di dalam UU Pemda, ada satu bab khusus tentang daerah otonomi baru. Di situ ada pedoman untuk 25 tahun mendatang," ujarnya.
Menurutnya, sebuah wilayah, bisa dimekarkan selama memenuhi aspek aspek keuangan, dan juga geo hazard.
"Misalnya itu 85 persen hutan lindung masa dijadikan DOB (daerah otonomi baru) juga? Seperti apa kerja bupatinya nanti, sengsara aja rakyat di situ. Tapi karena prinsipnya mekar-mekar-mekar, justru tidak bawa kesejahteraan, maka dihitung dulu potensi ekonomi seperti apa, kerawanan seperti apa, kalau dia bepotensi rawan, jangan," ujarnya.
Kendati ada pengetatan pemekaran wilayah, Mukowam menjelaskan, pemerintah juga memberikan kelonggaran terhadap suatu wilayah yang memiliki jarak cukup jauh dari provinsi induknya.
"Misal daerah-daerah yang cenderung ke provinsi A karena jaraknya jauh ke prov B dibolehkan itu, sekarang diakomodir dengan provinsi lain," kata dia.
Selain itu, keluasan lain terkait pemekaran wilayah adalah pengusulan. Apabila sebelumnya usul pemekaran adalah inisiatif daerah, maka saat ini pemerintah pusat juga boleh memberikan usulan. Namun, pengaturannya akan lebih kompleks.