Keliru Bila KPK Angkat Penyidik Independen
makna frasa 'diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan' dalam Pasal 39 ayat (3) itu sudah jelas
Penulis: Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, I Gde Pantja Astawa menyatakan bahwa tidak ada tafsiran dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan lembaga antirasuah berwenang mengangkat dan memberhentikan penyidik independen.
Demikian dikatakan Pantja ketika hadir sebagai ahli dalam sidang uji materi Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang digugat Otto Cornelis Kaligis, terdakwa kasus dugaan suap hakim PTUN Medan, di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (3/11/2015).
Menurut Pantja, Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang diklaim mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian penyidik KPK berkorelasi dengan Pasal 39 ayat (3) UU KPK.
Sementara Pasal 39 ayat (3) itu berbunyi "penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK".
Sehingga, kata dia, makna frasa 'diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan' dalam Pasal 39 ayat (3) itu sudah jelas.
"Maknanya adalah penyelidik dan penyidik kepolisian serta penuntut umum dari kejaksaan yang ditempatkan dan menjadi pegawai KPK sepenuhnya mengabdi dan berkiprah untuk KPK dengan menunjukkan loyalitas tunggal," kata Pantja.
Karena itu, lanjut dia, guna menunjukan loyalitas tunggal itu, baik penyelidik dan penyidik maupun penuntut umum diberhentikan sementara dari instansi asalnya.
Pasalnya diberhentikan sementara itu, selain bermakna loyalitas tunggal, juga sekaligus terkait dengan persoalan 'status kepegawaian' yang sifatnya administrasi.
"Dokumen kepegawaian dan hak keuangannya sementara dihentikan dari instansi asalnya, kemudian dialihkan ke KPK," kata Pantja.
Usai dialihkan, kata Pantja, penyelidik, penyidik, dan atau penuntut umum kemudian diangkat sebagai pegawai KPK.
Namun, jika Kepolisian atau Kejaksaan menarik kembali mereka, KPK secara administrasi akan memberhentikan status mereka sebagai pegawai KPK, lalu mengalihkannya kembali ke instansi asal.
Sehingga, kata Pantja, bahwa makna Pasal 45 ayat (1) itu bukan ditafsirkan bahwa KPK berwenang mengangkat dan memberhentikan penyidik independen.
Melainkan bahwa penyidik yang diangkat dan diberhentikan KPK tetap berasal dari Polri.
"Makna itu yang terkandung dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang sepenuhnya bersifat administratif sebagai wujud dari keputusan konstitutif KPK, bukan sebagai wujud dari kewenangan KPK mengangkat dan memberhentikan penyidik independen," beber Pantja.
Adapun ahli lain yang dihadirkan, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum KPK seharusnya ditafsirkan independen dalam tugas dan kewenangannya.
Bukan ditafsirkan pada sistem pengangkatannya.
"Kalau sekarang ditafsirkan (penyelidik dan penyidik) independen itu keliru. Tapi tugas dan kewenangannya (independen) karena kejahatan (yang ditangani) luar biasa," kata Romli.
Romli mengakui, sewaktu perumusan UU KPK di DPR dulu, dirinya memang pernah menawarkan adanya penyelidik, penyidik, dan penuntut umum independen di KPK.
Maksudnya mereka diambil dari sipil, namun itu ditentang DPR karena hanya Kepolisian dan kejaksaan yang punya pengalaman melakukan penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan.
Oleh karena itu, sebagai jalan tengah dalam pembuatan UU KPK itu lahirlah perumusan Pasal 38, Pasal 39 ayat (3), Pasal 43 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (1).
"Kan sejarahnya begitu," kata Romli.