Membangun Budaya Politik Berkarakter dan Cerdas
Akankah daur ulang demokrasi 2015 mengurangi catatan buruk demokrasi Indonesia?
Editor: Hasanudin Aco
Dalam berbagai kesempatan pun saya sering mengatakan, perbedaan aktivis dan politisi pada zaman dulu dan sekarang adalah bahwa aktivis dan politisi zaman dulu dipenjara dan diasingkan dulu baru kemudian memimpin (mendapatkan ganjaran kekuasaan).
Sementara aktivis dan politisi sekarang (walaupun tidak semuanya) adalah berkuasa dulu baru kemudian dipenjara.
Nelson Mandela dari Afrika Selatan yang meninggal pada 2013 mengajarkan kita akan politik demikian.
Mandela dipenjara selama 27 tahun karena memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak warga kulit hitam baru kemudian dinobatkan sebagai Presiden Afrika Selatan. Itu pun Mandela hanya bersedia menjadi presiden selama satu periode (1994-1999).
Soekarno, Hatta, dan Mandela mengajarkan kepada kita bahwa untuk dinobatkan sebagai pemimpin politik haruslah diawali dengan melakukan pengabdian terlebih dahulu.
Artinya, kekuasaan yang diamanahkan padanya adalah perpanjangan tangan dari pengabdian dan perjuangannya selama ini. Maka, mereka tidak perlu menghabiskan banyak dana dan memberikan janji-janji politik kepada masyarakat untuk dipilih sebagai pemimpin karena mereka sudah melakukannya dan rakyat melihat itu.
Dalam kampanye politiknya bukan dengan bahasa "saya akan mengabdi, memperjuangkan hak-hak Anda wahai rakyat Indonesia!", tetapi dalam orasinya mengatakan, "Mari kita lanjutkanuntuk memperjuangkan apa yang sudah kita lakukan selama ini!"
Memperhatikan kultur politik dan politisi zaman ini sepertinya akrab dengan bahasa politik yang pertama, "Saya akan, akan, dan akan…." Ini yang sering kita dengar dari para politisi yang mengemis suara kepada rakyat.
Bahasa politik ini sepertinya akan makin masif kita dengarkan kembali di penghujung tahun ini, tahun di mana banyak politisi karbitan muncul dan turun ke bawah memermak dirinya sebagai figur yang akan jadi pahlawan dan pejuang yang dermawan dan baik hati.
Sekalipun mereka tidak punya karakter dan rekam jejak sebagai pahlawan dan pejuang. Itulah wajah dan kultur politik kita hari ini. Wajah dan kultur yang jauh dari semangat pengabdian dan perjuangan, melainkan kerakusan untuk merampas milik negara.
Maka, dalam menatap pemilihan kepala daerah secara serentak tahap pertama pada tahun 2015 ini, marilah kita—terutama para politisi yang siap bertarung memperebutkan jabatan publik di daerah—belajar dari Soekarno, Hatta, dan Mandela.
Dalam orasi politiknya mereka tidak mengatakan saya akan, akan, dan akan. Namun, mereka mengatakan saya sudah melakukan perjuangan itu, maka marilah kita lanjutkan perjuangan itu untuk yang lebih besar dengan dukungan Anda, rakyat (Indonesia), tentunya.
Itulah kultur politik yang berkarakter. Politik untuk perjuangan, bukan perdagangan. Wahai para politisi Indonesia, jika Anda ingin mengenang selalu Soekarno, Hatta, dan Mandela, malulah meminta dukungan politik kepada rakyat kalau Anda belum melakukan apa-apa untuk rakyat, bangsa, dan negaramu.
Organisasi kemahasiswaan
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.