Membangun Budaya Politik Berkarakter dan Cerdas
Akankah daur ulang demokrasi 2015 mengurangi catatan buruk demokrasi Indonesia?
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Ahmad Sahide
"Mengerikan melihat apa yang terjadi kalau ambisi dan kekuasaan tumbuh berkembang dalam benak orang idiot."
- Doung Thu Huong
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak ada yang mampu menahan laju perputaran waktu, dan tahun 2015 pun akan segera berlalu. Kita, bangsa dan negara Indonesia, akan menutup tahun 2015 ini dengan agenda besar: pemilihan kepala daerah secara serentak tahap I pada 9 Desember nanti.
Berbagai catatan kebangsaan yang tak cukup menggembirakan turut mengiringi perjalanan bangsa pasca Reformasi 1998. Berbagai kasus korupsi dan perselingkuhan politik antara pengusaha, penguasa, dan kehakiman terkuak.
Salah satu contoh, tertangkap basahnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sedang menerima suap pada 2013. Lalu, pada 2015, kita semua menyaksikan konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) vs Polri jilid II yang berakhir dengan penonaktifan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Politik pengabdian
Inilah yang akan membayangi kita menatap pemilihan (demokratisasi) kepala daerah secara serentak pada 2015; tahun di mana daur ulang demokrasi berlangsung pada tingkat daerah yang akan diselenggarakan secara serentak.
Seluruh rakyat Indonesia kembali mendapatkan momentum untuk memilih pemimpinnya di daerah.
Akankah daur ulang demokrasi 2015 mengurangi catatan buruk demokrasi Indonesia?
Demokrasi yang melahirkan lebih dari 60 persen kepala daerah tersandung kasus korupsi. Demokrasi yang tidak jarang melahirkan pemimpin tanpa gagasan.
Slogan politik yang cukup populer dari Soekarno adalah jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jasmerah).
Maka, marilah kita melirik sejarah dedikasi politik para bapak pendiri bangsa kita sekilas untuk membaca atau "meramalkan" politik Indonesia ke depan.
Membaca biografi Soekarno dan Mohammad Hatta di dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sampai pada akhirnya rakyat memberinya ganjaran sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI menyadarkan kita bahwa banyak di antara kita sebenarnya tidak melakukan apa-apa untuk bangsa dan negara Indonesia, tetapi meminta untuk diberi jabatan (kekuasaan).