Gerakan Indonesia Bersih Sebut Tifatul Gagal Pahami Politik Pencegahan Korupsi
Pernyataan Tifatul Sembiring mengenai gaduhnya kabinet kerja sejak masuknya Rizal Ramli, menuai reaksi keras dari sejumlah kalangan.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Gusti Sawabi
Laporan Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Tifatul Sembiring mengenai gaduhnya kabinet kerja, sejak masuknya Rizal Ramli, menuai reaksi keras dari sejumlah kalangan.
Antara lain datang dari Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M Massardi. Bahkan Adhie menilai Tifatul gagal memahami politik pencegahan korupsi.
Menurut Adhie apa yang dilakukan Menko Maritim dan Sumber Daya itu tidak bisa dikategorikan kegaduhan.
Sebab dalam perspektif politik pemberantasan korupsi, mengangkat ke permukaan proyek-proyek pemerintah yang semula tertutup sehingga jadi transparan, seperti dilakukan Rizal Ramli merupakan cara paling efektif mencegah permainan di jajaran pejabat negara selaku pemegang kuasa atas proyek-proyek itu.
Contohnya seperti rencana pembelian pesawat Airbus A-350 oleh Meneg BUMN. Kalau tidak 'dikepret' Rizal Ramli, menurut Adhie, niscaya itu akan berjalan mulus.
Sehingga Indonesia tinggal menunggu hari bangkrutnya maskapai penerbangan nasional itu, sebagaimana terjadi pada MNA (Merpati Nusantara Airlines) karena (dipaksa) membeli pesawat yang tidak diperlukan.
Padahal kata Adhie, dalam setiap pembelian barang (dan jasa) selalu ada komisi, fee atau istilah halusnya kick-back. Bahkan dalam bisnis pesawat, nominalnya bisa mencapai 25-30 persen. Nah, kalau menterinya jujur, mungkin fee itu disetor ke kas negara, tapi jangan lupa, di Garuda ada pengusaha besar pemegang saham (publik) mayoritas (sekitar 30 persen) di luar pemerintah yang juga punya hak atas komisi itu.
Jadi apa yang menurut tafsiran Tifatul sembiring sebagai kegaduhan, tekan Adhie, sejatinya itu adalah pencegahan korupsi, tindakan preventif atas kerugian keuangan negara. Begitu pula perkara ladang gas raksasa Blok Masela, tambang emas besar yang dikelola PT Freeport, proyek listrik 35 MW, dan lainnya.
"Makanya saya (GIB) menentang saran Politisi PKS ini agar 'kegaduhan' (pencegahan tindak pidana korupsi) dalam pemerintahan Jokowi dihentikan, dengan berlindung di balik 'soliditas kabinet' sebagaimana terjadi dalam kabinet SBY," kata Adhie dalam keterangannya diterima Tribun, Kamis (5/11/2015).
Adhie menambahkan, sebagaimana diketahui, pada rezim SBY, di mana Tifatul berada di dalamnya, kabinet memang terlihat kompak. Bahkan sangat solid. Namun siapa yang tahu, jika sebenarnya di antara mereka saling menutupi rahasia kegelapan masing-masing.
Itu pun akhirnya sejumlah menteri di kabinet SBY, berhasil dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti Andi Malarangeng, Jero Wacik, Suryadarma Ali, harus berurusan dengan lembaga antirasuah itu.
Dalam sejarah politik nasional, apa yang dilakukan Rizal Ramli sebenarnya bukan hal baru, menurut Adhie. Sebab Jusuf Kalla saat jadi Wapres tahun 2004-2009, dalam kasus Bank Century, bahkan menggunakan bahasa vulgar dan sangar dalam menjelaskan kepada publik atas kebobrokan pemerintahan saat itu. "Perampokan!" ujarnya saat itu.
"Padahal kita tahu, skandal Century yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp 6,7 triliun, yang disebut Jusuf Kalla sebagai perampokan, sebagaimana juga diungkap Pansus Centurygate DPR, dilakukan beberapa pejabat negara yang notabene bawahan Pak JK. Mereka bisa menjalankan 'perampokan' dengan leluasa berkat Perppu No 4 Tahun 2008 yang dikeluarkan SBY, yang notabene adalah atasan Pak JK sendiri," kata Adhie.
Sayangnya, lanjut Adhie, meskipun saat itu posisinya sebagai Wapres, karena kurang sungguh-sungguh, JK gagal mencegah kerugian keuangan negara di Bank Century. Sehingga pernyataannya kepada publik pada Senin, 31 Agustus 2009, tentang adanya perampokan dan kriminal dalam bailout Bank Century, hanya jadi sensasi belaka.
"Karena skandal Century itu faktanya berjalan sangat mulus. Sembunyi dalam kegelapan ingatan rakyat," tegas Adhie.
Atas uraian itulah, Adhie berharap ke depan tidak ada lagi yang keliru memahami "Kegaduhan", mana 'perseteruan politik' dan mana pula langkah preventif penyelamatan aset atau kekayaan negara.
Sampai berita ini diturunkan Tribunnews.com belum mengkonfirmai kepada Tifatul Sembiring dan pihak PKS lainnya.