ICW Desak Kejaksaan Agung Tuntaskan Kasus Jakpro
Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kejaksaan Agung menuntaskan penyidikan kasus tindak pidana korupsi terkait tanah atau asset milik Jakarta
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kejaksaan Agung menuntaskan penyidikan kasus tindak pidana korupsi terkait tanah atau asset milik Jakarta Propertindo (Jakpro).
ICW mencurigai kasus yang telah lama mengendap ini rawan intervensi agar tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Tiga tersangka hingga saat ini juga tidak ditahan, padahal tersangka lain dalam perkara korupsi yang ditangani Kejagung langsung ditahan.
"Banyak kasus yang tidak jalan dalam tahap penyelidikan dan penyidikannya di Kejagung, termasuk kasus Jakpro. Kasus ini sudah lama ditangani Kejagung. Saya minta Jaksa Agung harus monitor kerja anak buahnya," kata Peneliti ICW, Emerson Yuntho, Selasa (10/11/2015).
Emerson mengatakan, sejak beberapa minggu lalu, ICW bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia meminta Presiden Joko Widodo segera mengangganti Jaksa Agung, HM Prasetyo.
Sebab sejak ia dipilih menjadi Jaksa Agung tidak ada kinerja Kejagung yang menonjol atau membanggakan.
"Yang dikerjakan Kejagung adalah kasus-kasus selevel Kejaksajaan Negeri (Kejari). Oleh karena itu, pilih orang terbaik menjadi Jaksa Agung," ujarnya.
Menurut Emerson, selain kasus Jakpro, kasus besar lainnya yang belum dituntaskan Kejagung adalah kasus Hambalang. Kasus itu merupakan limpahan dari KPK.
"Kasus ini tidak ada progres sama sekali sampai saat ini," ujarnya.
Seperti diketahui, Kejagung sudah menetapkan tiga tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi terkait tanah atau asset milik Jakpro yakni Dirut PT Wahana Agung Indonesia (Ancol Beach City) Fredie Tan alias Awi, Komisaris PT Delta Jakarta, Oky Sukasah dan mantan Dirut Jakpro (BUMD) I Gusti Ketut Gede Suena.
Ketiganya diduga melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan lahan aset Pemda DKI seluas 5.000 meter persegi di Pluit, Jakarta Utara, yang diduga dijual tanpa izin dari Gubernur DKI dan DPRD DKI.
Akibatnya negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 68 miliar.