Prananda Paloh: Teror Paris dan Bom Bali Membawa Pesan Sama
Tepat pernyataan Presiden RI, Joko Widodo mengutuk aksi terror yang menelan ratusan korban jiwa di Paris.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para founding fathers merumuskan kedirian Indonesia sebagai sebuah bangsa, salah satu tujuannya untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat dari berbagai ancaman. Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia juga mengemban misi suci untuk menjaga dan mengamankan perdamaian dunia.
Beranjak dari landasan itu, sudah tepatlah pernyataan Presiden RI, Joko Widodo mengutuk aksi terror yang menelan ratusan korban jiwa di Paris.
Dukungan terhadap pernyataan presiden itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI Prananda Surya Paloh, terkait serangan teror di Paris yang menghentak warga dunia baru-baru ini.
"Saya hanya ingin mengatakan, bahwa negara dunia perlu menyatukan jaringan lintas negara untuk melawannya (terorisme)," tegas Prananda dalam keterangannya, Senin (16/11/2015).
Dalam hemat Nanda, sapaan akrabnya, kelompok radikal menetapkan Paris sebagai sasaran teror bukan hanya dilandasi oleh kebijakan Perancis yang kontra ISIS. Aksi itu juga bukan semata-mata kelanjutan dari kasus Charlie Hebdo yang pernah melakukan pelecehan terhadap umat Islam lewat karikatur Nabi Muhammad. Lebih dari itu, anggota Fraksi NasDem ini melihat tragedi Paris memberi pesan sama dengan Bom Bali I dan II, bahwa teroris mampu menghadirkan rasa takut di lokus yang menjadi simbol ketenangan dan keamanan sebuah bangsa.
"Saya pikir faktor Hebdo bukan yang utama. Tapi teror pada Uni Eropa, di jantung Eropa yang Teroris hendak tujukan," jelasnya.
Prananda yakin, pemerintah Perancis tidak sedang kecolongan dengan adanya tragedi teror di Paris dua hari lalu, mengingat lembaga intelijen Perancis adalah salah satu yang terbaik di dunia. Pengalaman tugas mereka selama ini menunjukkan keberhasilan mereka menghentikan berbagai percobaan dan rencana teror di dalam maupun luar negeri. Kondisi ini sekaligus memberi pesan lebih jauh tentang ancaman terorisme, bahwa negara dengan sistem pengamanan yang mutakhir sekalipun bisa ditembus oleh tindakan teroris.
Kelompok teroris ini, lanjut Nanda, memiliki perencanaan yang matang, jaringan yang siap guna, dan dibantu dengan faktor keberuntungan, maka bisa menembus sistem keamanan Perancis.
“Selama para teroris terus melahirkan anak-anak ideologisnya, selama itu pula sel-sel teror terus terbentuk. Adanya sel-sel teror memungkinkan terjadinya regenerasi terus-menerus pada saat yang menguntungkan mereka. Hal ini terjadi bukan hanya di Paris, tapi bisa saja terjadi di Indonesia,” ungkap lulusan Monash University Australia ini.
Mengutip analisis intelijen dan pertahanan, Prananda menjabarkan kekuatan ideologi teroris trans nasional berakar pada tiga bidang yang saling beririsan. Ketiganya yaitu bidang politik, bidang pendidikan, dan bidang ketrampilan teror. Selama jaringan teroris masih memanfaatkan ketiga bidang itu untuk melakukan kaderisasi, kemungkinan teror dari mereka akan selalu ada.
“Perlu memutus mata rantai antara teror, sehingga tidak beririsan lagi dengan jaringan bidang pendidikan dan politik. Maka pendidikan harus dapat diawasi oleh program dan lembaga negara pengawas pendidikan. Sehingga dipastikan tidak ada lagi proses radikalisasi tersistematis pada generasi muda kita,” urainya.
Nanda menyampaikan bahwa upaya deradikalisasi juga harus terus dilakukan pada kelompok-kelompok yang bermain di politik. Pada saat yang sama, tak ada jalan lain bagi sel-sel teroris yang telah terbentuk, selain dihabisi secara tegas dan keras. Untuk keperluan itu, ajaran ideologi transnasional teroris harus di ungkap secara jelas, dan negara secara sistematis dan masif memberikan program pencerahan kepada masyarakat.
“Dengan begitu, gerakan teroris akan mudah ketahui masyarakat, dan masyarakat mampu membangun imunitas terhadap kesesatan ajaran ideologi transnasional teroris ini,” pungkas Prananda.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.