Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Luthfi A Mutty: Indonesia seperti Negeri Para Begundal

Ia menyebut Indonesia saat ini seperti “negeri para begundal,” karena jajaran elit politik diisi kaum oportunis pragmatis.

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Luthfi A Mutty: Indonesia seperti Negeri Para Begundal
IST
Luthfi A Mutty. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Minerel (ESDM) Sudirman Said telah menyerahkan laporan terkait pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan oknum pimpinan DPR.

Laporan itu diserahkan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Pencatutan nama itu mengarah pada sosok Setya Novanto, yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPR RI.

Menanggapi polemik itu, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) bidang Pemerintah Daerah Fraksi NasDem, Luthfi A Mutty menyampaikan kecamannya.

Ia menyebut Indonesia saat ini seperti “negeri para begundal,” karena jajaran elit politik diisi kaum oportunis pragmatis, salahgunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi.

Terkait kasus perpanjangan kontrak PT Freeport, Luthfi menyebut hal itu bukanlah tanggung jawab DPR.

Oleh karena itu, tak semestinya seorang anggota DPR mengintervensi terlalu jauh, apa lagi seorang pimpinan DPR selaku lembaga tinggi negara, selayaknya harus paham batas kewenangannya,

Berita Rekomendasi

"Ini kan seharusnya pemerintah yang melakukan semuanya (renegosiasi kontrak pertambangan – red), DPR tidak dalam kapasitas itu."

"Kalau misalkan pimpinan lembaga tinggi negara seperti ketua DPR terbukti melakukan tindakan tidak terpuji itu, saya menyebut negeri ini negeri para begundal," kecamnya sebelum menghadiri rapat internal komisi II di Kompleks MPR/DPR, Selasa (17/11).

Merespon langkah Sudirman Said yang mengadukan kasus itu ke MKD, Luthfi menilai hal itu sudah tepat.

Proses pengadilan etika di MKD ini akan menentukan masa depan Setya Novanto.

Jika terbukti melakukan pelanggaran etika, konsekuensinya yaitu mundur dari dari posisinya selaku ketua sekaligus keanggotaan DPR, karena pelanggaran etika adalah bentuk penyimpangan dari sumpah jabatan.

"Kalau terbukti memang mau tidak mau dia harus menanggalkan jabatan dan keanggotaannya di DPR."

"Itu sanksi yang sepadan ketika MKD membuktikan itu," tegasnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas