Sukur Nababan Ungkap Ada Perampokan Sistematis Melalui Tangan Asing
Sukur Nababan memastikan, Pansus Pelindo akan terus mendalami skandal perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT)
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Anggota Pansus Pelindo II DPR Sukur Nababan memastikan, Pansus Pelindo akan terus mendalami skandal perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh Pelindo II. Pansus menduga, ada manipulasi biaya dan rekayasa hukum di kontrak JICT.
"Skandal JICT potensi kerugian negara sekitar Rp 20-40 triliun. Ada masalah besar dibalik kontrak JICT dengan Hutchison Port Holdings (HPH). Kontrak ini seperti perampokan sistematis melalui tangan asing," ungkap Sukur, Senin (23/11/2015).
Ia mengungkap sejumlah keganjilan di kontrak JICT. Pada kontrak I, Pelindo menetapkan HPH, perusahaan milik Taipan Hong Kong, Li Ka-shing itu, menjadi operator JICT periode 1999-2019.
Pelindo berhak atas royalti sebesar 15 persen dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas technical knowhow sebesar 14,08 persen dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba bersih).
"Saat kontrak pertama komposisi sahamnya, Pelindo 48,9 persen, HPH 51 persen dan kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen," papar Sukur.
Kemudian, Direktur Utama Pelindo II RJ Lino, katanya lagi, justru meneken perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontrak baru rampung pada 2019. Hal ini yang kemudian menimbulkan kecurigaan.
"Kontrak kedua meniadakan sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai 85 juta dolar per tahun," katanya.
Jatah HPH atas technical knowhow, imbuhnya lagi, 14,08 persen dari laba bersih dihapus. Sementara komposisi andil di JICT bergeser. Pelindo II berhak atas 51 persen saham dan HPH 49 persen.
"Selama ini, RJ Lino bilang sudah berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru sebaliknya," katanya.
Kemudian disetujuinya kontrak kedua yang merubah sistem royalti menjadi sewa, kata Sukur, berdampak kepada kerugian negara. Yang fatal lagi, pemberian saham JICT sebesar 49 persen kepada HPH selama 25 tahun, karena bakal habis kontrak pada 2038.
"Kita hitung, adanya potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp 20 sampai Rp 40 triliun," ujarnya lagi.
Sukur juga memaparkan sejumlah aturan yang dilangkahi dalam perpanjangan kontrak kedua JICT. Pertama, pasal 344 ayat 22 Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dalam beleid ini menyatakan, bahwa setiap kerja sama atau kontrak bisnis harus mendapat persetujuan (konsesi) dari otoritas pelabuhan.
Sebelum adanya Undang-Undang Pelayaran, imbuhnya, Pelindo II menjadi pengendali penuh atas pelabuhan. Artinya, kontrak JICT pertama, sepenuhnya di tangan Pelindo.
Namun, sejak berlakunya Undang-Undang tentang Pelayaran, wewenang untuk kerja sama bisnis ini dipecah dua. Selain Pelindo selaku operator pelabuhan, juga ada wewenang Kementerian Perhubungan sebagai regulator perlabuhan.
"Tapi Lino selalu bersuara keras. Bahwa, perpanjangan ini sepenuhnya wewenang korporasi. Padahal, sejak ada UU Pelayaran harus minta persetujuan Kemenhub. Celakanya, itu tidak dilakukan Lino,"kata Sukur.
Ia kemudian berani memastikan, perpanjangan kontrak JICT jelas melanggar UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara. Pansus juga mencurigai keberadaan Deutsche Bank (DB) sebagai konsultan keuangan Pelindo II. Karena DB dalam bermitra dengan Pelindo bertindak sebagai kreditor sekaligus konsultan.
"Anehnya lagi, penunjukan DB sebagai konsultan tak disertai dengan kontrak. Dan, banyak keganjilan dalam valuasi yang dilakukan DB," papar Sukur.
Yang paling fatal, dalam perpanjangan kontrak, HPH menyetorkan dana sekitar US$ 200 juta. Selanjutnya HPH berhak atas 49% saham JICT. Angka US$ 200 juta tersebut ternyata berdasarkan hasil valuasi DB. Salah satu komisaris Pelindo II di depan anggota pansus memaparkan kecurigaannya atas hal ini," ungkapnya.
"Selanjutnya dia menunjuk FRI (Financial Research Institute) untuk melakukan valuasi. Hasilnya, dana US$ 200 juta itu terlalu kecil untuk 49 persen saham JICT. Dana sebesar itu setara dengan 25 persen. Jelas ini kejahatan yang sistematis," tegas Sukur.
Sukur juga menambahkan, bahwa pembentukan pansus bukan untuk menjatuhkan seseorang. Tapi untuk perbaiki tata kelola BUMN secara menyeluruh.
"Tidak benar itu. Sudah saatnya tata kelola BUMN diperbaiki untuk mensejahterkan rakyat dan mendorong ekonomi nasional," pungkasnya.