Freeport dan Pemimpin Kita
Kuncinya adalah keadilan dan niat baik bersama, karena semua negara ingin menyejahterakan rakyatnya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Junaidi Albab Setiawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Freeport. Salah satunya adalah dari sana kita melihat mentalitas asli para pemimpin kita yang sungguh memprihatinkan.
Segi-segi penting masalah Freeport sesungguhnya telah dapat diidentifikasi untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Namun, mereka justru sibuk bergaduh bersilang kata dan manuver politik untuk memuaskan hasrat dan ambisi masing- masing yang menyimpang jauh dari inti masalah.
Masalah Freeport sesungguhnya adalah tentang dua badan hukum, yakni negara Indonesia dengan PT Freeport Indonesia yang terikat dalam perjanjian kontrak karya sejak tahun 1967 dan setelah beberapa kali perpanjangan, akan segera berakhir pada 2021.
Masalahnya adalah apakah Indonesia sebagai negara bersedia memperpanjang hubungan tersebut atau memilih mengakhirinya. Jika diakhiri bagaimana caranya dan jika diperpanjang apa syaratnya.
Tidak satu pun yang dapat mengingkari posisi negara Indonesia, suatu badan hukum publik penguasa tunggal atas segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia (Pasal 33 UUD 1945), di satu pihak.
Berhadapan dengan PT Freeport Indonesia, sebuah perusahaan PMA yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper & Gold Inc, suatu perusahaan pertambangan Amerika Serikat terbesar yang tercatat di Bursa New York Stock Exchange, di pihak lain.
Proses divestasi
Saat ini kepemilikan saham di PT Freeport adalah Freeport McMoRan memiliki 80,28 persen sedang Pemerintah Indonesia dan PT Indocopper Investama masing-masing 9,36 persen.
Jumlah ini harus terus meningkat dalam kurun waktu empat tahun hingga 30 persen, dengan proses divestasi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.
Proses divestasi kini menggantung karena Freeport terus mengulur waktu (buying time), enggan melakukan divestasi dengan dalih menunggu aturan baru dan tidak mengolah seluruh hasil ke smelter.
Di sisi lain Indonesia terus mendesakkan divestasi juga pengembangan smelter sambil mengingatkan bahwa perjanjian segera berakhir. Sebenarnya, jika Freeport jeli, jika terjadi kesepakatan divestasi, maka sesungguhnya juga telah terjadi kesepakatan perpanjangan.
Kontrak karya telah dimulai sejak tahun 1967, saat Indonesia sangat membutuhkan investasi asing dengan menerapkan kebijakan "outward looking" berdasar UU PMA No 1/1967.
Sejak semula, walaupun PT Freeport layaknya perusahaan biasa, namun memiliki posisi dominan karena dilindungi Pemerintah Amerika Serikat, mengingat tambang Freport menyimpan cadangan mineral yang sangat besar—konon terbesar di dunia.