Freeport dan Pemimpin Kita
Kuncinya adalah keadilan dan niat baik bersama, karena semua negara ingin menyejahterakan rakyatnya.
Editor: Hasanudin Aco
Dalam hal Freeport, tugas para pemimpin seharusnya menjadi ringan karena berhubungan dengan perusahaan yang berasal dari negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus champion dalam hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Terlebih selama ini Indonesia selalu menganggap Amerika Serikat sebagai sekutu penting.
Oleh karena itu, jika hubungan akan diperpanjang, selain kesetaraan maka negosiasi harus dibangun dengan semangat penghormatan terhadap posisi Indonesia yang terus dan sedang belajar demokrasi dan HAM, perlu contoh nyata penerapan nilai-nilai dalam negosiasi.
Dapat diperpanjang
Pada dasarnya kontrak selalu terbuka untuk perpanjangan. Ini karena tidak mudah mencari investor dengan kemampuan (dana dan keahlian), seperti Freeport. Namun, syaratnya harus tetap dalam kerangka konstitusi.
Pada ghalibnya perjanjian dengan obyek bernilai besar (vermogen) dan berjangka waktu panjang, para pihak mengatur ihwal perpanjangan. Kata "dapat diperpanjang" bermakna bahwa perpanjangan bukanlah suatu keharusan, dapat diperpanjang sepanjang ada kesepakatan (facultative).
Selain itu, kata "dapat" sekaligus meneguhkan bahwa perjanjian dibatasi oleh waktu. Kontrak karya tanpa batas waktu sama saja dengan penjajahan gaya baru. Maka, jika perjanjian sudah menentukan batas akhir, ketentuan itulah yang harus ditaati dan untuk selanjutnya dirumuskan kerangka hubungan baru.
Pembicaraan perpanjangan bisa dilakukan kapan saja, yang dilarang adalah menandatangani perjanjian baru tanpa mengindahkan aturan.
Wajar jika Freeport meminta jaminan hukum investasi jangka panjang, karena jangka waktu akan berakhir 2021, sementara dalam waktu ini dilarang ekspor hasil mentah dan wajib divestasi.
Namun, juga tidak rasional jika setelah setengah abad lebih kontrak berlangsung, syarat dan ketentuan dianggap masih sama seolah zaman tidak berubah (ceteris paribus).
Peraturan dan rezim sudah berganti, begitu pun paradigma juga sudah berubah. Dahulu perpanjangan semacam ini biasa dilakukan oleh pemerintah dengan cara "mengendap-endap" agar rakyat tidak tahu, namun sekarang tentu saja tidak.
Dalam kasus Freeport kita sering mendengar, jika kontrak tidak diperpanjang, maka akan terjadi sengketa arbitrase internasional, eskalasi instabilitas bermotif SARA, separatisme, embargo ekonomi atau invasi, seperti di Timur Tengah, dan lain lain. Isu-isu demikian harus dipandang sebagai teror yang mencoba menggoyahkan pendirian bangsa dalam menegakkan konstitusi.
Padahal, jalan keluar sudah ada, yakni memahami masalah dan memegang teguh aturan dan prinsip-prinsipnya, karena masalah Freeport bukanlah soal bisnis semata. Dengan pendekatan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan, pintu penyelesaian akan terbuka.
Kuncinya adalah keadilan dan niat baik bersama, karena semua negara ingin menyejahterakan rakyatnya.
Kontrak hanyalah tulisan yang dapat diubah kapan saja, namun tujuan utamanya tetaplah kemaslahatan bersama rakyat, utamanya Papua dan Indonesia.
Junaidi Albab Setiawan
Advokat, Pengamat Hukum Pertambangan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Freeport dan Pemimpin Kita".
Sumber : Harian Kompas