Pengamat: Cabut Larangan Go-Jek, Presiden Dianggap Ajak Masyarakat 'Tabrak' UU
Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyikapi persoalan bisnis transportasi berbasis online dianggap mengabaikan Undang-undang
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyikapi persoalan bisnis transportasi berbasis online dianggap mengabaikan Undang-undang (UU). Publik seolah-olah diajak untuk menabrak UU yang berlaku.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio, mengatakan isu tersebut akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di publik, karena itu, Agus mempertanyakan, "masih perlukan UU dibuat?"
"Ini sebuah kekeliruan. Seakan menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menyediakan angkutan umum yang nyaman dan aman buat masyarakat, lantas ojek dijadikan transportasi publik," ujarnya kepada Tribun, Minggu (20/12/2015).
Hal yang meenyesatkan, imbuhnya lagi, adalah ketika pucuk pimpinan negeri ini dalam siaran persnya menyebutkan biarkan rakyat menentukan pilihannya secara alami untuk menjadikan sepeda motor ojek untuk angkutan umum.
"Disebutkan, 'jangan sampai UU menghambat.' Ini adalah kalimat mengerikan, dan siapa sebenarnya yang dilindungi, masyarakat? Apa pengusaha?" katanya.
Dia juga menegaskan, UU adalah sesuatu yang harus dipatuhi dan ditegakkan. Karena itu, kalau memang mau dicarikan pembenaran, maka revisi UU-nya terlebih dahulu. Jangan membuat pembenaran.
"Saya sarankan Menteri Perhubungan (Ignasius Jonan) mengundurkan diri karena pimpinan negara tidak mendukung pelasanaan UU yang menjadi tanggungjawabnya," tandasnya.
Sebelumnya, Menhub Ignasius Jonan mencabut larangan beroperasinya Go-Jek dan ojek online lainnya. Jonan menegaskan, Kemenhub untuk sementara mempersilakan Ojek Online beroperasi.
"Ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak," kata Jonan di Jakarta, Jumat (18/12/2015).
Jonan menjelaskan, sesuai UU 22 thn 2009, kendaraan roda dua tidak dimaksudkan untuk angkutan publik. Namun realitas di masyarakat menunjukkan adanya kesenjangan yang lebar antara kebutuhan transportasi publik dan kemampuan menyediakan angkutan publik yang layak dan memadai.