Peneliti LIPI Minta Presiden Abaikan Rekomendasi Pansus Pelindo II
Menurut Syamsuddin, rekomendasi yang diberikan Pansus sudah melenceng.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Syamsuddin Haris meminta Pansus Pelindo II untuk tidak memaksakan kehendak terkait hasil rekomendasi pencopotan Menteri BUMN dan Dirut Pelindo II.
Sebab menurut Syamsuddin, rekomendasi yang diberikan Pansus sudah melenceng. Dan jika Pansus memaksakan kehendaknya, itu sama saja mengintervensi otoritas Presiden dalam mengangkat pejabat publik.
“Merekomendasikan mengganti menteri itu sudah menyimpang, salah kaprah. Harusnya, Pansus memberikan rekomendasi pengelolaan BUMN menjadi lebih baik, bukan menunjuk pada personal atau seseorang. Jadi konteksnya lebih kepada kebijakan, bukan kepada posisi atau jabatan seseorang,” ujar Syamsuddina, Rabu (23/12/2015).
Jika sudah menyinggung jabatan atau posisi seseorang, lanjut Syamsuddin, maka Pansus sudah jelas sangat tendensius dan tidak objektif lagi. “Sejak awal, agenda Pansus memang sudah melenceng, jadi tujuan di balik itu adalah mencopot menteri BUMN,” katanya.
Syamsuddin menyayangkan, inisiatif rekomendasi pencopotan ini justru datang dari partai pengusung Jokowi yaitu PDI-P. Seharusnya, kata dia, partai tersebut mendukung kebijakan-kebijakan Presiden, bukan malah menggerogotinya.
“Menurut saya yang harus dilakukan oleh Presiden yaitu tidak usah di respond rekomendasi itu. Pansus kan titik tolaknya undang-undang, sedangkan Presiden titik tolaknya lebih tinggi lagi, yaitu konstitusi,” tegasnya.
Sebelumnya, ketua Pansus Pelindo II Rieke Dyah Pitaloka meminta presiden Jokowi untuk segera mencopot menteri BUMN Rini Soemarno dan Direktur Utama Pelindo II Robert Joost Lino. Rieke juga meminta Jokowi untuk membatalkan perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH).
Namun sikap Rieke tersebut tidak sejalan dengan fakta hukum yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dalam auditnya terkait perpanjangan kontrak JICT, melalui surat no 48/AUDITAMA VII/PDTT/12/2015 tanggal 1 Desember 2015, BPK tegas menyatakan tidak adanya kerugian negara dalam kesepakatan tersebut.
Terkait pelaksanaan UU no 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, BPK hanya meminta kepada Pelindo II untuk segera mengambil alih kontrol manajemen di PT JICT.
Permintaan BPK tersebut sejatinya telah sesuai dengan proses perpanjangan kontrak JICT. Saat ini Pelindo II kini menjadi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 50,9%, Hutchison Port Holding (HPH) 49% dan kopegmar sebesar 0,1%.
"Tidak ada urgensi bagi Presiden untuk menjalankan pendapat Pansus Pelindo II. Iklim investasi yang sudah mulai membaik ini akan rusak jika Presiden terjebak pada kepentingan partai," tandas Praktisi hukum Pidana Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.