Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Menciderai Serentaknya Pilkada

Putusan PT TUN Jakarta dan Makassar yang mengakomodir kembali pasangan yang telah dinyatakan gugur sebelumnya berdampak pada penundaan pilkada.

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Menciderai Serentaknya Pilkada
Priyombodo
Ilustrasi 

Syarat yang tertulis dalam pasal 36, 37 dan 38 PKPU No 12 adalah adanya kesepakatan dari dua kubu kepemimpinan partai politik untuk memberikan rekomendasi terhadap pasangan calon yang kemudian diberikan “Cap Basah”. Artinya, ada surat asli pada saat melakukan pendaftaran.

Namun, tidak bisa dipungkiri, justru hal tersebut yang menjadi kendala di KPU untuk menetapkan pasangan calon tersebut memenuhi syarat atau tidak pada saat tanggal 24 Agustus 2015.

Setidaknya, 68 pasangan calon gugur karena dualisme partai tersebut. Sebagian kecil lainnya, mencoba menggugat putusan KPU tersebut hingga tahap PT TUN.

Sebut saja Pilkada di Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Fak Fak. Ketiganya memiliki masalah pada saat masa pencalonan yang tidak selesai karena saling klaim mendapatkan dukungan yang sah dari dua kubu partai politik yang bersengketa.

Paling menarik dari kasus dualisme partai tersebut berada di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Pasangan Harry Marbun – Momento Sihombing dan pasangan calon Pelbet Siboro-Henry Sihombing diusung oleh partai yang sama yaitu Golkar dan dapat mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember lalu.

Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan antara putusan KPU Humbang Hasundutan, Panwaslu, dan PTUN.

Bebas Bersyarat
Calon Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi dan Calon Wakil Bupati Simalungun, Amran Sinaga yang menjadi terpidana atas kasus korupsi--namun sedang menjalani masa bebas bersyarat--juga menjadi kendala atas ditundanya pilkada serentak di dua daerah tersebut.

BERITA REKOMENDASI

Adanya perbedaan pandangan lagi-lagi menjadi masalah mendasar atas putusan tersebut.

Dalam UU No 8 Tahun 2015, tentang pilkada, sudah diputuskan oleh MK bahwa calon kepala daerah yang dapat mengikuti pilkada serentak hanya bisa diikuti oleh mantan narapidana. Sementara narapidana yang masih bebas bersyarat belum terhitung sebagai mantan narapidana.

Jimmy Rimba Rogi atau Imba saat ini masih menjadi tahanan bebas bersyarat yang akan selesai masa hukumannya pada pertengahan tahun 2016. Sementara Amran Sinaga, masih berstatus bebas bersyarat hingga 2017.

Sempat terjadi pro-kontra pada putusan MK tersebut. Pasalnya, tahanan bebas bersyarat dinilai masih dapat menjalani tugas sebagai kepala daerah meski tetap berada di wilayahnya sendiri, serta harus menghormati hak dipilih dan memilih setiap warga negara.

Sementara beberapa yang lain menilai bahwa tahanan bebas bersyarat tidak pantas menjadi kepala daerah karena masa tahanan belum selesai meski tidak berada di dalam lembaga pemasyarakatan.


Satu Pintu
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menyatakan bahwa sengketa pilkada hanya perlu dibawa sampai tingkatan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), tidak perlu sampai tingkatan Mahkamah Agung jika hanya permasalahan administrasi sengketa pencalonan.

"Pakai lembaga yang sudah ada saja. Tidak perlu buang anggaran membentuk lembaga baru yang justru akan menimbulkan masalah baru," jelas Titi ketika dihubungi.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas