Pasal 158 Jadi Penghambat Pencari Keadilan
Pasalnya, selisih dua persen akan sulit ditemui dalam perolehan hasil pemilihan.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Johnson Simanjuntak
![Pasal 158 Jadi Penghambat Pencari Keadilan](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/ketua-dewan-kehormatan-penyelenggara-pemilu-jimly-asshiddiqie_20151223_120454.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa hadirnya pasal 158 UU No 8 Tahun 2015, menghambat demokrasi karena tidak sehat dan tidak baik bagi orang-orang yang mencari keadilan di MK mengenai sengketa pilkada.
Pasalnya, selisih dua persen akan sulit ditemui dalam perolehan hasil pemilihan.
"Terlalu membatasi hak rakyat hanya karena evaluasi terkait dengan kasus pilkada di MK yang sebelumnya menimbulkan masalah nasional karena adanya kecurangan suap pada kasus Akil," ujar Jimly kepada wartawan di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Jimly menjelaskan bahwa pada awalnya, tujuan pembatasan dua persen akan mencegah orang-orang untuk mencoba-coba ke MK.
Namun, pada praktiknya jumlah persentase tersebut dinilai terlalu ketat dan kaku.
Menurut Jimly, sudah ada preseden yang baik dari MK pada 2004 lalu untuk mempertimbangkan perselisihan hasil pilkada dengan melihat signifikansi perkara.
Artinya, apabila terdapat suara yang tidak sah, maka pembuktiannya harus signifikan menyebabkan seseorang kalah.
"Kalau terbukti memang terjadi pelanggaran namun tidak signifikan dan mempengaruhi hasil maka dia akan di tolak. Jadi semangatnya itu jangan hanya membatasi perkara," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum pihak terkait Kabupaten Malang, Robikin Emhas mengatakan banyak pihak yang merasa dirugikan karena batas tersebut, karena menilai tidak semua penyelenggara pemilu di tingkat bawah melakukan hal yang benar.
"Meski saya di pihak terkait dan menang, tapi bagi saya, ini kurang mengakomodir keseluruhan perkara yang mungkin saja akan menimbulkan kekalahan satu pihak karena kesalahan penyelenggara," ujarnya.
Sedangkan kuasa hukum pihak terkait dari Kabupaten Halmahera Utara, Taufik Basari mengatakan putusan MK mengenai kewenangan mahkamah hanya pada pasal 158 tersebut, sudah benar dan sangat relevan, mengingat pilkada, tidak termasuk dalam rejim pemilu.
"Karena memang ketika pembuat UU membuat syarat selisih mengenai ambang batas syarat mengajukan permohonan ke MK sudah didasari oleh pemikiran yang kuat di mana untuk pilkada dengan rejim UU yang baru ini," kata Taufik.
Dia juga menjelaskan untuk sengketa lain di luar sengketa hasil seperti soal penetapan dan administrasi soal SK KPU dan lainya.
Jika didapati sengketa TUN, maka melalui proses panwas, Bawaslu yang berlanjut ke PT TUN dan MA. Yang berikutnya, untuk persoalan etika, ada DKPP serta terdapat Gakkumdu pada dugaan politik uang.
"Setiap permasalahan ada relnya masing-masing. Untuk sengketa hasil, ke MK sampai ada peradilan khusus. Jadi, dasar ada syarat ini, memang ditujukan agar setiap mekanisme yang disediakan untuk menyelesaikan permasalah dalam pilkada, itu dioptimalkan,"kata Taufik.