Revisi Undang Undang Terorisme Rawan Penyalahgunaan Wewenang
Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme harus dilakukan secara hati-hati.kekuasaan.
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme harus dilakukan secara hati-hati.
Direktur Program Imparsial, Al Araf menyebut revisi tersebut rawan "abuse of power," atau penyalahgunaan kekuasaan.
"Saya khawatir, potensi abuse of powernya tinggi," ujar Al Araf saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (25/1/2016).
Revisi tersebut dilakukan pascaserangan teror di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, pada 14 Januari lalu.
Sejumlah hal yang akan direvisi diantaranya waktu pemeriksaan 7 x 24 jam untuk menentukan seseorang terlibat teror atau tidak.
Saat ini masa pemeriksaan 7 hari untuk ditentukan seorang menajadi tersangka teror atau tidak.
Rencanannya waktu tersebut akan diperpanjang menjadi 14 hari.
Menurut Al Araf, waktu tujuh hari sebenarnya sudah cukup bagi petugas untuk menggali keterangan.
Aturan tersebut sudah lebih memberikan kewenangan terhadap petugas, dibandingkan yang tercantum di KUHAP.
"Jadi sebenarnya penahanan itu sudah cukup," ujarnya.
Selain itu aturan soal validitas barang bukti juga akan dipermudah.
Bila sebelumnya harus izin ketua pengadilan, rencanannya akan disederhanakan dengan izin dari hakim pengadilan negeri.
Al Araf menilai aturan soal izin, tidak seharusnya diubah.
"Seyogianya validitas bukti tetap berada ditangan ketua PN dan bukan hakim PN," jelasnya.
Selain itu, untuk orang orang yang diduga terlibat aktivitas terorisme di luar negri, rencanannya akan dicabut kewarganegaraannya.
Menurut Al Araf, aturan soal kewarganegaraan seharusnya dicantumkan di undang-undang kewarganegaraan, bukan di undang-undang soal terorisme.