KPK: Lebih Dari 90 Persen Isi Draft Revisi Melemahkan KPK
Sebagian besar draft Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016 tidak menduk
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian besar draft Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016 tidak mendukung penguatan lembaga antirasuah itu.
Setelah meneliti dan mendiskusikannya secara internal, KPK menyimpulkan draft yang akan dibahas di Badan Legislasi nanti, 90 persen materinya adalah untuk merongrong kewenangan KPK.
"Saya bisa pastikan kepada teman-teman semua sebagian besar dari draft ini adalah pelemahan, lebih dari 90 persen bukan penguatan terhadap KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif di kantornya, Jakarta, Rabu (3/2/2016).
Syarif pun mencontohkan mengenai pengaturan penyadapan dalam Pasal 12 A pada draft tersebut.
Pasal baru tersebut mensyaratkan penyadapan baru bisa dilakukan setelah adanya dua bukti permulaan yang cukup dan harus ada izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Pasal tersebut pada poin ketiga juga mengatur bahwa penyadapan hanya bisa dilakukan selama tiga bulan dan bisa diperpanjang satu kali.
Menurut Syarif, ketentuan tersebut akan sangat menghambat kinerja KPK karena selama ini KPK menyadap tidak membutuhkan izin dari Dewan Pengawas.
"Ini betul-betul kita anggap yang melemahkan sehingga kami anggap tidak cocok dengan apa yang dikerjakan selama ini," kata Syarif.
Kedua, lanjut Syarif, mengenai batasan perkara yang ditangani KPK adalah jika kerugian negara minimal Rp 25 miliar.
Selama ini, wewenang KPK adalah menangani kerugian negara minimal Rp 1 miliar.
Menurut Syarif, aturan tersebut tentu melemahkan karena persoalan korupsi sebenarnya bukan pada besaran jumlah uang yang ditilap.
Kata dia, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak hanya untuk mengembalikan kerugian negara tapi untuk mengubah perilaku seseorang supaya tidak korupsi di kemudian hari.
"Karena sebenarnya bukan soal besaran uangnya tapi soal aktor yang melakukan tindak kejahatan pidana korupsi itu," tukas Syarif.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.