Kisah Gus Dur Bikin Geger Karena Mengaku Keturunan Tionghoa
Perayaan Tahun Baru Imlek bagi etnis Tionghoa tak bisa lepas dari peran sosok Gus Dur.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perayaan Tahun Baru Imlek bagi etnis Tionghoa tak bisa lepas dari peran sosok Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Seorang ulama "nyentrik" yang memiliki pemikiran pluralis inilah yang pertama menyudahi diskriminasi terhadap kelompok Tionghoa selama bertahun-tahun di Tanah Air.
Selain karena kebijakannya yang menyudahi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, Gus Dur juga sempat membuat geger.
Gara-garanya, pria yang merupakan cucu dari ulama besar NU, Hasyim As'ari, ini mengaku keturunan Tionghoa.
"Saya ini China tulen sebenarnya, tetapi ya sudah nyampurlah dengan Arab, India," ungkap Gus Dur, seperti diberitakan Kompas.com pada 30 Januari 2008 silam.
Pengakuan Gus Dur soal garis keturunannya itu bukan sekali saja diutarakannya.
Namun yang pasti, pengakuan tersebut sempat membuat geger kala itu.
Berdasarkan cerita Gus Dur, dia merupakan keturunan dari Putri Cempa yang menjadi selir dengan raja di Indonesia.
Dari situ, Putri Cempa memiliki dua anak, yakni Tan Eng Hwan dan Tan A Hok.
Tan Eng Hwan kelak dikenal sebagai Raden Patah, sementara Tan A Hok adalah seorang mantan jenderal yang sempat menjadi duta besar di China.
Dari garis Raden Patah itulah kemudian Gus Dur mengaku mendapatkan keturunan Tionghoa-nya.
Pengakuan Gus Dur ini juga sempat dikuatkan oleh tokoh NU lainnya, Said Aqil Siradj, pada tahun 1998, seperti yang dituliskan dalam buku Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia.
Kala itu, pada tahun 1998, Said Aqil menceritakan bahwa Tan Kim Han memiliki anak bernama Raden Rachmat Sunan Ampel dan menurunkan KH Hasyim As'ari yang selanjutnya menurunkan KH Wahid Hasyim dan punya anak bernama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Jadi, Gus Dur itu Tionghoa, maka matanya sipit," ujarnya sambil tersenyum.
"Dengan demikian, tidak ada istilah pro dan nonpro serta Muslim dan non-Muslim," ungkap Said Aqil waktu itu.
Bapak Tionghoa Indonesia
Terlepas dari garis keturunan Tionghoa yang dimiliki Gus Dur itu, etnis Tionghoa yang sudah berabad-abad ada di Indonesia tetap menganggap Gus Dur adalah salah satu tokoh yang layak mendapat penghargaan.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang dibuar Gus Dur itulah, etnis Tionghoa hingga para penganut Khonghucu tidak lagi menyembunyikan simbol mereka, sesuatu yang terlarang pada era Orde Baru.
Tidak heran, pada 10 Maret 2004, di Kelenteng Tay Kek Sie, Gus Dur dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa Indonesia".
Gus Dur hadir dalam penobatan itu dengan pakaian lengkap menggunakan baju cheongsam, meski harus duduk di kursi roda.
Selepas kepergian Gus Dur pada 30 Desember 2009 silam, makamnya terus didatangi warga Tionghoa yang mendoakannya hingga kini.
Foto Gus Dur pun kini kerap ditemui di sejumlah kelenteng untuk mengingat jasa-jasanya.
Menyudahi diskriminasi
Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur ketika itu mencabut instruksi Presiden Soeharto pada tahun 1967 yang membatasi gerak kelompok Tionghoa.
Di dalam peraturan itu, kelompok Tionghoa tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok, dan hanya dibolehkan di lingkungan keluarga.
Alasannya, ketika itu, Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa telah menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi.
Alhasil, perayaan Tahun Baru Imlek pun tidak dilakukan terbuka selama masa Orde Baru.
Pada Masa Orde Baru pula, semua warga keturunan Tionghoa diwajibkan untuk mengubah nama Tionghoa-nya ke bahasa Indonesia.
Begitu menjabat sebagai Presiden, Gus Dur tidak sepakat dengan pemikiran Soeharto ketika itu.
Dia meyakini bahwa warga Tionghoa sebelumnya dibedakan dari warga negara Indonesia sehingga mereka berhak mendapatkan hak yang sama, termasuk menjalani keyakinannya.
Pada tahun 2000 itu, Gus Dur menetapkan bahwa hari raya Tahun Baru Imlek adalah hari libur yang fluktuatif.
Artinya, hanya mereka yang merayakan yang boleh libur.
Kebijakan itu kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekanorputri yang menetapkan hari raya tersebut sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.
Gus Dur pun menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.
Bagi dia, perayaan ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama, sehingga sama seperti tradisi lainnya yang dilakukan di Jawa.