Pakar Hukum Ini Kaget Baca Draf Revisi UU KPK
Andi menuturkan izin penyadapan melalui dewan pengawas melanggar UU.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Andi Hamzah memberikan pandangan mengenai revisi UU KPK di hadapan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Ia mengaku kaget dengan perubahan yang ada dalam UU KPK.
"Saya kaget baca perubahan, terlalu sedikit lebih baik enggak usah. Mungkin pemerintah terlalu takut," kata Andi di Ruang Baleg DPR, Gedung DPR, Jakarta, Selasa (9/2/2016).
Guru Besar Universitas Trisakti itu menyebut KPK tidak memerlukan Dewan Pengawas.
Sebab hal itu membuat birokrasi baru kemudian kantor serta anggaran yang baru.
"Yang mengawasi KPK itu presiden dan DPR. Independen itu bukan berarti tidak bisa diawasi, presiden yang mengawasi dan tiap tahun ada laporan pertanggungjawaban ke DPR," imbuhnya.
Ia menyebutkan penyadapan dan dewan pengawas tidak ada yang diatur.
Andi menuturkan izin penyadapan melalui dewan pengawas melanggar UU.
"Melanggar KUHAP karena yang memberikan izin itu upaya hakim dalam hal penahanan, penggeledahan, penyadapan. Dan dalam hal mendesak tidak perlu ada izin," ujarnya.
Sementara untuk penyidik berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Andi menuturkan penuntut umum diangkat KPK bertentangan dengan UU Kejaksaan.
Sebab, penuntut umum berasal dari kejaksaan.
"Jadi penuntut umum di KPK ditunjuk oleh Jaksa Agung. Memiliki kewenangan boleh menuntut, boleh tidak. Jadi orang yang sudah Dituntut tidak bisa dihentikan karena menyangkut kepentingan umum," katanya.
Selain itu, ia juga mengingatkan proses penyidikan adalah sesuatu yang rahasia dan tidak boleh dibuka ke umum.
"Kalau disini konferensi pers, KPK, jaksa, polisi, itu tidak boleh dibeberkan bisa dipidana," imbuhnya.