Empat Orang yang Mengaku Korban Novel Ikut Berdemo di Kejaksaan Agung
Ke empatnya naik mobil pengunjukrasa, kemudian berorasi menuntut Jaksa Agung melimpahkan berkas dugaan penembakan
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Setelah bertemu komis III DPR, empat orang yang mengaku korban abuse of power Novel Baswedan saat menjabat Kasatreskim Bengkulu, mendatangi Kejaksaan Agung, Selasa (16/2/2016).
Mereka yakni Irwansyah Siregar, Rusli Aliansyah, Dedi Mulyadi, dan Donny Yeprizal Siregar yang mengaku menjadi korban penyiksaan oleh tim Reserse Kepolisian Resort kota Bengkulu pimpinanan Novel saat itu.
Mereka sempat ikut berunjukrasa bersama segelintir orang dari Himpunan Mahsiswa dan Peduli Hukum yang berdemo meminta Jaksa Agung tidak mengeluarkan deponering untuk kasus yang membelit dua petinggi dan satu penyidik KPK, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan.
Bahkan, bersama kuasa hukum Yuliswan, ke empatnya naik mobil pengunjukrasa, kemudian berorasi menuntut Jaksa Agung melimpahkan berkas dugaan penembakan oleh Novel ke Pengadilan Negeri Bengkulu.
Selain berorasi bahkan dua diantara empat korban tersebut menunjukan bekas luka tembak di kakinya.
Setelah berorasi mereka kemudian masuk ke dalam gedung Kejagung. Bersema perwakilan pendemo mereka diterima oleh Kapuspenkum Kejagung, Amir Yanto.
Di meja melingkar ruang rapat Puspen Kejagung itu, mereka secara bergiliran menyampaikan dan tuntutannya terkait kejadian 12 tahun silam itu.
Mereka berempat satu suara, mendapatkan perlakuan di luar batas usai terpergok mencuri sarang burung walet di suatu gedung di Jalan S Parman, Bengkulu. Sama seperti di depan Komisi III DPR RI, Senin lalu, mereka mengaku disiksa dan disetrum oleh polisi pimpinan Novel Baswedan.
"Saya korban kebiadaban dan kekejaman Novel tahun 2004, kami ditangkap karena pencurian sarang burung walet. Kami tidak melakukan perlawanan. Sesampainya di kantor Polres (Bengkulu), tanpa ditanya tanya kami langsung disiksa, ditelanjangi, hanya menggunakan celana dalam, kurang lebih empat jam penyiksaan," ujar Irwansyah sambil menangis.
Bahkan menurut klaim Irwansyah selain dipukuli ia bersama empat temannya yang melakukan pencurian juga distrum. Sengatan listrik tersebut hingga kini membuatnya trauma.
Oleh karenanya menurut Irwansyah, Kejaksaan tidak boleh menghentikan kasus penganiayaan tersebut.
"Apa salah kami, kok samapi distrum, padahal, kami hanya mencuri," ujar Irwansyah di depan Kapuspen.
Sementara itu Kapuspen Kejagung Amir Yanto berjanji akan menyampaikan aspirasi kepada Jaksa Agung HM Prasetyo. Ia tidak bisa menjanjikan apapun kecuali menyampaikan aspirasi, lantaran wewenang ada pada Jaksa Agung.
"Saya berjanji saya akan sampaikan pesan ini kepada Jaksa Agung," tuturnya.
Rusli Tinggalkan Usahanya Demi Cari Keadilan di Jakarta
Satu dari empat orang yang mengklaim korban penganiayaan polisi pimpinan Novel Baswedan 2004 silam, Rusli Aliansyah mengaku dirinya nekad datang ke Jakarta dengan meninggalkan usahanya di Riau, Sumatera, demi menuntut keadilan.
Selama ini ia membuka warung makan di Riau untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.
"Saya membuka warung makan dan saya tinggalkan demi ke Jakarta," tuturnya di Kejagung (16/2/2016).
Rusli yang datang ke Kejagung mengenakan kemeja bergaris biru mengatakan, tidak ada yang membayar dirinya ke Jakarta. Ia selama ini bertahan hidup dengan berganti-ganti pekerjaan.
Dua hari setalah bebas dari penjara, pria kelahiran Medan, Sumatera Utara tersebut pindah ke Riau. Ia pernah menjadi kuli bangunan, buruh perkebunan, hingga akhirnya membuka warung makan. Ia mengaku kapok mencuri, setelah kakinya ditembak oleh polisi.
"Saya tujuh bulan dipenjara, setelah itu saya ke Riau mencari pekerjaan," paparnya.
Rusli pun menceritakan detik-detik penganiayaan yang dilakukan Reserse Polresta pimpian Novel kepada dirinya kala itu.
Menurutnya usai terpergok mencuri, ia kemudian di bawa ke Mapolres. Di sana, ia dipukuli, distrum, hingga ditelanjangi. Tidak berhenti disitu menurutnya, ia di bawa ke pantai panjang menggunakan mobil pikap.
Di pantai Ia bersama kelima temannya dijejerkan dan diinterogasi oleh polisi.
"Dipantai saya berjejer enam orang, dua orang satu borgol kemudian ditanya tanya. Saya kaget dan takut, karena kaki saya ditempeli pistol," paparnya.
Menurut Rusli saat sedang diinterogasi tersebut ia yang berada ujung kanan, mendengar suara tembakan dari arah kiri. Berselang lima menit kemudian kaki ditembak.
Kepada Tribunnews, Rusli pun memperlihatkan luka tembak di kaki kirinya yang bebekas persis di bawah lutut.
"Ini lukanya ditembak dari betis belakang," katanya.
Meski mengaku jika saat penembakan matanya tidak ditutup apapun, Rusli mengatakan tidak tahu siapa yang ditembak duluan. Ia pun tidak tahu korban tewas bernama Aan berbaris dideretan keberapa.
Namun menurutnya saat itu ia melihat sosok yang menembak kaki kirinya, yaitu Novel Baswedan.
"Saat itu mata dibuka, tidak ditutup, dan saya lihat dia (Novel)," katanya.
Kuasa hukum Korban, Yuliswan mengatakan ke empat korban penganiayaan tim Reserse Polresta Bengkulu pimpinan Novel 2004 silam, selama ini hidup pas-pasan. Ada yang membuka usaha makan, kuli bangunan, dan penjual ikan.
Usai keluar dari penjara keempatnya hidup berbeda tempat, satu orang di Bengkulu yakni Dedi Mulyadi , Rusli Aliansyah di Riau, dan di Donny Yeprizal Siregar dan Irwansyah Siregar di Medan.
Yuliswan mengatakan tidak ada yang membayar kedatangannya bersama empat korban penganiayaan Novel ke jakarta. Ia merogoh kocek sendiri untuk mebiayai hidup selama di Ibu Kota. Yuliswan juga mengaku tidak dibayar sedikitpun menjadi kuasa hukum keempat korban.
"Saya tidak dibayar, malah saya keluar uang, karena satu dari mereka yakni Irwansyah Siregar adalah saudara saya," tuturnya.
Awalnya menurut Yuliswan, ia bersama keempat korban datang ke Jakarta atas undang salah satu stasiun televisi. Ia bersama kliennya diundang untuk menjadi narasumber salah satu program acara diskusi. Akomodasi ke Jakarta ditanggung oleh stasiun televisi tersebut.
Usai menghadiri diskusi tersebut, ia kemudian memutuskan untuk sekalian memperjuangkan keadilan kliennya di Jakarta. Bersama ke empat korban, ia akan mendatangi lembaga terkait, agar kasus penganiayaan diungkap hingga tuntas.
"Uang jasa saya mendapingi klien lain, saya gunakan selama di Jakarta. Karena saya akan datangi semua lembaga agar kasus ini tuntas, setelah komisi III DPR, Kejaksaan, dan Komnas HAM, saya akan datangi kantor wakil presiden," tuturnya.
Selama di Jakarta menurut Yuliswan , bersama ke empat korban, ia tinggal dirumah kerabatnya. Yuliswan enggan menyebutkan rinci alamatnya di jakarta. Hanya saja menurutnya, Ia akan tinggal sampai kasus disidangkan.
"Sampai kasus benar disidangkan, sebelum terburu kadaluwarsa pada tanggal 18 Februari nanti. Karena berdasarkan perhitungan saya lewat tanggal 18 sudah Kadaluwarsa," paparnya.
Beda Penanganan Korban Tembakan
Dua dari empat korban dugaan penganiayaan oleh polisi Pimpinan Novel Baswedan 2004 silam ternyata mengalami perlakuan berbeda. Rusli Alfiansyah dan Irwansyah Siregar yang mengaku sama sama ditembak karena kedapatan mencuri sarang burung walet 12 tahun silam, ternyata berbeda perlakuan usai penembakan terjadi.
Irwansyah mengaku proyektil baru dikeluarkan 8 tahun pasca kejadian. Timah panas dikeluarkan dari kakinya pada 2012 lalu, setelah diketahui oleh saudaranya yang kini menjadi kuasa hukumnya, Yuliswan. Ia pun menunjukan gambar foto kaki sebelum dan sesudah opersi. Menurutnya selama 8 tahun tersebut ia tersiksa menahan sakit.
"Ini gambar sebelum dan ini sesudah," ujar Yuliswan saat menunjukan kertas HVS yang bergambar kaki kepada Tribunnews saat di Kejagung.
Irwansyah mengatak usai ditembak di pantai panjang ia dibawa ke RS Bhayangkara Bengkulu. Hanya saja ia tidak tahu mengapa peluru yang bersarang dikakinya tidak dikeluarkan.
"Saya tidak tahu mengapa di Rumah sakit tidak dikeluarkan," paparnya.
Sementara itu Rusli Aliansyah mengatakan usai penembakan, sama seperti lima orang temannya, ia dibawa ke RS Bhayangkara. Di rumah sakit milik kepolisian tersebut proyektil di kaki kirinya dikeluarkan.
"Tidak lama setelah di rumah sakit Bhayangkara (peluru) dikeluarkan oleh dokter," paparnya.
Mesti sudah dikelurakan, ia merasa kaki kirinya tidak pulih seperti semula. Kadang ia merasa sakit meskipun rentang waktunya sangat lama.
"Sudah bisa berjalan normal sekarang, tapi kadang suka ada nyeri," katanya.
Ia tidak tahu kenapa peluru yang bersarang dikaki rekannya tidak dikeluarkan pada saat di rumah Sakit Bahayangkara saat itu. Ia mengira, peluru yang bersarang di kaki Irwansyah Siregar tersebut sudah dikeluarkan.
"Saya tidak tahu, saya kira waktu itu sudah dikeluarkan ternyata belum," pungkasnya.