Ragu dengan Fakta, Alasan Jaksa Hentikan Kasus Novel
Satu di antaranya adalah keberadaan proyektil yang register dari Polres Bengkulu.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad menyebutkan ada beberapa hal yang membuat pihaknya memutuskan menerbitkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) untuk perkara Novel Baswedan.
Menurut Noor Rachmad, saat mengkaji ulang berkas perkara yang sebelumnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bengkulu, terdapat keraguan dari pihaknya.
Hal itu muncul, jelas Noor Rachmad, karena ada fakta yang tidak sesuai dengan kejadian pada Februari 2004 silam.
"Satu di antaranya adalah keberadaan proyektil yang register dari Polres Bengkulu. Padahal, saat peristiwa itu namanya masih Polresta Bengkulu," kata Noor Rachmad di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (22/2/2016).
Jampidum juga menyebutkan dalam perkara ini, selain pelaku dan korban tidak ada saksi yang melihat.
Terlebih, sebut Jampidum, dugaan tindak penganiayaan itu terjadi pada malam hari dan korban tidak mengetahui penembak.
"Perbuatan ada, tapi dari sisi pertanggungjawaban itu, siapa yang bertanggung jawab ?. Semua bermula pada petunjuk. Ini yang membuat ragu tim membawanya ke pengadilan," kata Jampidum.
Setelah terbitnya surat berwarna merah muda yang ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu, Made Sudarmawan, maka perkara Novel Basweda dinyatakan berhenti.
Berkas perkara ini, pernah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bengkulu dan telah keluar jadwal sidang pada 16 Februari silam.
Namun, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menarik kembali berkas perkara dengan dalih ingin mengkaji sembari melihat perkembangan aspirasi pada masyarakat.
Sebelumnya, Penyidik KPK Novel Baswedan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian terkait dugaan tindakan penganiayaan berat yang dilakukan saat masih bertugas di Bengkulu.
Kasus yang menjerat Novel Basweda sempat menarik perhatian publik. Pasalnya penetapan tersangka Novel dikaitkan dengan upaya mengkriminalisasi personel KPK.
Hal ini menyebabkan polemik antara lembaga antirasuah itu dengan Kepolisian atau dikenal sebagai cicak versus buaya.