Jampidsus Belum Mau Komentari Kekalahan di Praperadilan
Arminsyah menyatakan pihaknya masih menunggu salinan putusan hakim Mukhtar Effendi.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah belum mau menanggapi putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang melepaskan status tersangka pada Direktur Utama PT Comradindo Lintasnusa Perkasa (PT CLP), Tri Wiyasa.
Arminsyah menyatakan pihaknya masih menunggu salinan putusan hakim Mukhtar Effendi.
"Saya menunggu laporan tertulis," kata Arminsyah di depan gedung bundar Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (1/3/2016).
Terkait putusan hakim yang memerintahkan penghentian penyidikan keterlibatan Tri Wiyasa, sebut Arminsyah, juga tengah dipelajari pihaknya.
Sebelumnya, pada sidang putusan praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (1/3/2016), hakim Effendi Mukhtar mengabulkan seluruhnya permohonan Tri Wiyasa.
"Hakim memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan tersangka dan memutuskan tidak sahnya penyidikan," kata hakim Effendi Mukhtar di Ruang Sidang 5 PN Jakarta Selatan.
Menurut hakim, penetapan tersangka Tri Wiyasa tidak sah karena perjanjian antara perusahaan pimpinannya dengan BJB belum usai.
Hal ini, dinilai hakim, membuat jumlah kerugian negara belum dapat dihitung.
"Kerugian negara adalah bukti esensil dalam tindak pidana korupsi," katanya.
Selain itu, hakim juga memutuskan proses penyelidikan pada kasus ini harus dihentikan.
Tri Wiyasa adalah Direktur Utama PT Comradindo Lintasnusa Perkasa (PT CLP), perusahaan yang mengaku memiliki lahan tempat rencananya berdiri Gedung BJB di Jakarta.
Dia menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan kantor Bank Jabar Banten (BJB) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada 2012.
Selain mendapatkan status tersangka, nama Tri Wiyasa sempat pula dimasukan dalam daftar buron.
Bank BJB yang berniat membangun kantor di Jakarta, setuju membeli lahan itu dengan harga Rp 534 miliar.
Namun, dalam pelaksanaannya, ditemukan bahwa harga lahan tidak sesuai ketentuan dan dimiliki pihak lain. Akibat itu, terdapat dugaan kerugian negara sebesar Rp 217 miliar.