Dosen Universitas Indonesia ini Sebut Masyarakat Indonesia Alami Kegalauan Budaya
Budaya nasional belum jelas bentuknya dan derasnya arus pengaruh budaya internasional yang umumnya budaya Barat,tidak sepenuhnya bersifat positif
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini, muncul kegalauan budaya dari sebab tidak adanya keseimbangan kemampuan masyarakat kita dalam memilah dan memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diinternalisasikan.
Kondisi ini berbeda dengan masa lalu saat proses internalisasi kultural berlangsung secara gradual dan bersifat sukarela.
Akibatnya, pertumbuhan pribadi warga masyarakat, baik anak-anak, remaja, maupun orang tua, dan wanita maupun pria lebih banyak bersifat negatif.
Ini menjadi benang merah Diskusi Panel Serial ke-9 dengan tema yaitu Referensi Global” yang diadakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Sabtu (12/3/2016).
Hadir sebagai pembicara adalah Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Dr. Diah Madubrangti dan Prof. Dr. Jenny Hardjatno.
"Budaya nasional belum jelas bentuknya dan derasnya arus pengaruh budaya internasional yang umumnya budaya Barat, tidak sepenuhnya bersifat positif," kata Diah Madubrangti.
Untuk itu, kata dia perlu sebuah metode pembelajaran yang tepat agar budaya nasional semakin jelas bentuknya dan serangan gencar dari unsur-unsur budaya Barat yang bersifat negatif dapat diminimalisasi atau bahkan dapat dihilangkan.
"Berdasar studi kasus Jepang, proses internalisasi budaya sebagaimana di Indonesia juga terjadi di Jepang. Hanya saja Jepang mampu mengelolanya sehingga derasnya arus pengaruh budaya internasional dapat ditekan, yaitu melalui pendidikan," katanya.
Proses pendidikan di Jepang cenderung memperlihatkan adanya usaha penyampaian nilai budaya masyarakatnya yang dilakukan oleh guru secara sungguh-sungguh.
Guru memasukkan nilai-nilai tradisi masyarakat Jepang yang didasari oleh orientasi kelompok dan mengajarkan anak untuk memiliki sikap dan tingkah laku yang diperlukan untuk pembentukan kepribadian sebagai generasi penerus masyarakatnya.
“Program pendidikan di Jepang sangat diprioritaskan oleh pemerintah Jepang sebagai pembentukan perilaku orang Jepang hingga kini,” kata Diah.
Jenny Hardjatno berdasar studi kasus Rusia, usai Presiden Uni Soviet Gorbachev mengeluarkan program Glasnost, Perestroika, dan Demokratiya maka proses internalisasi budaya menjadi semakin cepat. Unsur-unsur budaya Barat semakin deras masuk ke Rusia.
“Dalam menghadapi proses internalisasi budaya, Rusia kini kembali menggunakan budaya masa lalu terutama local wisdom sebelum Revolusi Lenin”, kata Jenny.
Pontjo Sutowo menyatakan jika sejarah mencatat bahwa anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada masa lalu terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sedikit dari mereka yang merupakan ahli hukum.
Namun karya mereka dapat dikatakan mampu membentuk negara yang bervisi ke depan dan mampu mengkristalisasi sistem nilai budaya masa lalu.
Kenyataan ini memberi gambaran jika Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak dimonopoli oleh para ahli hukum saja.
Bukan saja untuk mencegah timbulnya kecenderungan legalistik dari penafsiran UUD 1945, namun mereka akan bisa merasakan denyut jantungnya kebudayaan bangsa yang majemuk.
“Mampu merasakan denyut jantung kebudayaan bangsa inilah yang harus dimiliki semua penyelenggara negara. Dengan dirasakannya denyut jantung budaya bangsa, maka perlindungan terhadap indentitas budaya, memberi fasilitas bagi budaya bangsa, dan mencegah pengaruh negatif budaya luar akan dapat muncul dengan sendirinya”, kata Pontjo Sutowo.