Penanganan Kasus Ilegal Fishing Butuh Biaya Besar
"Apa pihak imigrasi mau menerima mereka di rumah detensi, mereka biasanya tidak punya anggaran. Mereka menolak. Kalau di Maluku, mereka disuruh masak
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penanganan kasus pencurian ikan atau ilegal fishing tidak lah murah.
Menurut Wakil Ketua Tim Satuan Tugas Anti Illegal Fishing, Yunus Husein, butuh biaya besar untuk menindak pelaku, hingga menjebloskannya ke penjara.
Ia mencontohkan, ada satu kasus di mana terendus nelayan asing mencuri ikan dari perairan di Indonesia, dan menurunkan ikan hasil curiannya itu pelabuhan di wilayah Dog Leg, Papua Nugini.
Para pelaku berhasil ditangkap, tapi penegak hukum juga harus membuktikan kejahatan pelaku secara hukum.
Untuk membuktikan ikan-ikan yang diturunkan pelaku di Papua Nugini adalah ikan dari Indonesia, penegak hukum harus membuktikan secara ilmiah, agar kejahatan para pelaku bisa dibuktikan di persidangan.
"Kita harus uji DNA, adanya di Singapura, dan itu ada biayanya. Bayangkan negeri maritim seperti Indonesia belum ada ahlinya," ujar Yunus dalam media briefing, di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta Pusat, Minggu (13/3/2016).
Selain itu, untuk menangkap para pelaku juga biayanya tidak murah.
Puluhan Anak Buah Kapal (ABK) yang diduga melakukan kejahatan, harus ditanggung biaya hidupnya.
"Apa pihak imigrasi mau menerima mereka di rumah detensi, mereka biasanya tidak punya anggaran. Mereka menolak. Kalau di Maluku, mereka disuruh masak sendiri ikan yang mereka tangkap," jelasnya.
Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) punya cukup biaya untuk menangani kasus tersebut.
Namun pihak Kejaksaan dikhawatirkan tidak punya biaya cukup, padahal mereka adalah bagian dari penegakan hukum, saat kasus tersebut dilimpahkan.
Anggaran penanganan perkara Pidana Umum (Pidum) oleh Kejaksaan di tahun 2016 ini kembali dipangkas.
Kejaksaan hanya dianggarkan untuk menangani 39.514 perkara. Padahal kasus yang diterima, lebih dari 100 ribu kasus.
Perperkaranya hanya dianggarkan sekitar Rp 3,3 juta.
Hal itu berlaku untuk semua kasus, mulai dari pencopetan sampai pencurian ikan.
Hal itu sangat disayangkan, karena dikhawatirkan jerih payah polisi dan KKP, mentah di Kejaksaan.
Menurutnya anggaran tersebut tidak ideal.
"Dengan anggaran segitu, mereka harus mengundang misalnya saksi ahli dari Papua dan Maluku, dan itu tidak murah," ujarnya.