Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat: Tak Ada dalam UU Soal Taksi Uber dan Grab Car

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengaku sudah sejak 2014 bersuara mengenai keberadaan layanan Taksi Uber dan Grab Car

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Sugiyarto
zoom-in Pengamat: Tak Ada dalam UU Soal Taksi Uber dan Grab Car
Tribun Bali/Prima/Dwi S
Para sopir taksi di Bali demo beroperasinya taksi online. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengaku sudah sejak 2014 bersuara mengenai keberadaan layanan Taksi Uber dan Grab Car yang dioperasikan oleh perusahaan peranti lunak melalui jasa panggilan mobil yang disediakannya.

Sejak awal Agus mendesak agar Kementerian Perhubungan bersikap tegas terhadap Taxi Uber dan Grab Car yang sama sekali tidak mematuhi aturan yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dalam UU No 22/2009, tegas dia, sudah diatur untuk menjadi angkutan publik, perusahaan tersebut harus memiliki badan hukum yang jelas, membayar pajak, dan memakai pelat kuning. Jika masih memakai pelat hitam, maka itu mobil sewa (rental), jangan mengaku jadi taksi.

"Kan dari awal saya sudah sampaikan karena tidak ada di UU 22/2009," tegas Agus kepada Tribun, Senin (14/3/2016).

Akan tetapi, untungnya suara Agus baru akan terealisasi sekarang ini setelah para supir dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk segera menindaklanjuti surat rekomendasi Kementerian Perhubungan terkait pemblokiran aplikasi online Grab dan Uber.

"Ya cuma dua tindakan Pemerintah. Melarang atau mengubah UU. Done. Statement saya enggak berubah dari 2014," cetusnya.

Berita Rekomendasi

Dia tegaskan, untuk jadi angkutan publik maka Uber dan Grab Car harus memiliki badan hukum yang jelas, membayar pajak, dan memakai pelat kuning.

Jika masih memakai pelat hitam, maka mobil yang dioperasikan Uber masuk kategori mobil sewaan dan tidak tepat disebut taksi.

"Regulator terkesan tidak tegas terhadap hal ini. Meskipun hal ini menguntungkan konsumen dari sisi pemesanan (online) dan tarif yang lebih murah, tapi tetap saja kalau di kemudian hari ada apa-apa seperti pelanggaran berupa kriminal dan konsumen dirugikan, lantas konsumen mau lapor ke siapa?" tegas Agus, Rabu (16/12/2015) lalu.

Agus menilai, Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sudah lebih tegas menolak keberadaan taksi Uber di Jakarta, karena dianggap ilegal.

"Untuk itu saya minta Kemenhub tegas untuk menyikapi hal ini. Langsung saja dilarang kalau tidak mau patuh terhadap UU. Jangan masuk ke wilayah abu-abu,” katanya.

Sementara soal kabar yang menyebutkan pendapatan seorang pengemudi taksi Uber yang mencapai Rp 16 juta per bulan, kata Agus, hal itu salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengejar anggota di Indonesia. "Hal itu hendaknya disikapi secara hati-hati oleh masyarakat,” ujar Agus.

Sebelumnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan akan memblokir aplikasi Uber Taxi dan Grab Car.

Hal itu sejalan dengan desakan dari para sopir taksi dan angkutan umum sejenisnya meminta penutupan aplikasi online tersebut.

Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan JA Barata membenarkan hal tersebut.

Barata menjelaskan surat pemblokiran Uber dan Grab Car sudah diberikan kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi.

"Surat permohonan pemblokiran aplikasi pemesanan angkutan (Uber taksi dan Grab Car) dari Menhub kepada Menkominfo," ujar Barata kepada Tribunnews.com, Senin (14/3/2016).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas