Penyelesaian Konflik Agraria Tidak Mudah Karena Menyangkut Sejumlah Kementerian dan Lembaga
Konflik agraria adalah salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan masyarakat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Konflik agraria adalah salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan masyarakat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat, menyebutkan sebagian besar kasus itu, menyangkut Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Mereka bersengketa baik dengan pemerintah, maupun perusahaan yang memiliki hak kelola lahan.
"Harus dicari penyelesaiannya," ujar Imdadun Rahmat, kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (16/3/2016).
Saaat ini, ada 31.957 desa yang berada di wilayah kawasan hutan, yang berstatus tanah negara.
70 persen masyarakat tersebut, menggantungkan hidupnya dari hasil hutan. Hal tersebut merupakan potensi konflik agraria.
Konflik tersebut bisa diselesaikan bila hak MHA diberikan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, MHA yang sudah menduduki lahan lebih dari 20 tahun, bisa mengajukan hak kepemilikan.
Ia akui penyelesaian konflik agraria tidak lah mudah, karena menyangkut sejumlah lembaga dan kementerian seperti Kementerian Dalam Negri (Kemendagri), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Di lapangan kementerian dan lembaga itu saling berhadapan, karena kepentingannya berbeda," terangnya.
Untuk menjembatani lembaga dan kementerian tersebut, dibutuhkan Satgas MHA, yang secara prinsip pembentukannya sudah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.
"Sekarang yang penting political will (komitmen politik) dulu dari presiden, sebelumnya tidak ada," jelasnya.