Dua Kapal Nelayan Indonesia Dipulangkan Malaysia
Ketua Komite II DPD RI, Parlindungan Purba mengapresiasi kebijakan Pemerintah Pulau Penang, Malaysia yang memperbolehkan pulang terhadap dua kapal ne
Penulis: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komite II DPD RI, Parlindungan Purba mengapresiasi kebijakan Pemerintah Pulau Penang, Malaysia yang memperbolehkan pulang terhadap dua kapal nelayan asal Sumatera Utara.
Sebelumnya dua kapal tersebut diamankan pihak berwajib Malaysia karena memasuki perairan negara tersebut, April 2016.
"Langkah Pemerintah Pulau Penang itu menunjukkan dijalankanan atau sudah diimplementasikannya MoU Common Guidelines RI-Malaysia," Ungkap Parlindungan dalam siaranb pers yang diterima Tribunnews.com, Minggu (8/5/16).
Parlindungan memastikan dua kapal di pelabuhan di Penang, Malaysia tidak dimusnahkan atau ditahan.
Padahal menurut laporan Konjen RI untuk Penang, Malaysia, kepada Parlindungan Purba, sebelumnya kapal-kapal itu ditahan atau dimusnahkan.
Dua kapal yang ditangkap pihak Malaysia tersebut mengangkut 14 orang dimana dua di antaranya nahkoda.
Kapal tersebut ditangkap pada tanggal 18 April 2016 karena memasuki perairan Pulau Penang.
Pemulangan awak kapal nelayan akan dilakukan sesegera mungkin paling lambat 28 Mei 2016.
"Hanya nahkoda yang harus ditahan untuk proses lebih lanjut dan itupun penahanan dalam waktu lebih cepat pula," kata Parlindungan.
Menurut anggota DPD RI utusan Sumatera Utara itu, dilaksanakannya kausal-kausal dalam Memorandum Of Understanding (MoU) itu tidak terlepas dari keaktifan dan lobi Konjen RI untuk Penang, Malaysia, Taufiq Rodhy.
Konjen RI untuk Penang dinilai proaktif menangani kasus-kasus yang menimpa warga Indonesia mulai tenaga kerja dan nelayan di Penang.
"Jadi selain ke Pemerintah Malaysia, DPD RI juga memberi apresiasi besar kepada Konjen RI di Penang, Taufiq Rodhy," katanya.
DPD RI sendiri didukung Pemprov Sumatera Utara, Konjen RI di Penang, dan pemerintah Penang berencana membantu pemulangan 10 orang nelayan yang masih berada di Penang itu.
Parlindungan menjelaskan, Indonesia dengan Malaysia sepakat menjaga perairan Selat Malaka karena kawasan itu merupakan milik kedua negara.
Bakamla RI dan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia, kata Parlindungan, terus melakukan perbaikan dan peningkatan kesepakatan dalam menyikapi penanganan atau hukum bagi kapal dan nelayan yang memasuki perairan di dua negara itu.
"Perbaikan dan peningkatan kesepakatan mengacu pada masih banyaknya perbedaan hukum khususnya menyangkut kapal nelayan," katanya.
Konjen RI untuk Penang, Malaysia, Taufiq Rodhy menyebutkan, ada perbedaan soal defenisi nelayan tradisional.
Di Malaysia, kata dia, nelayan tradisional menggunakan kapal tanpa mesin, sementara di Indonesia sudah menggunakan mesin.
"Masalah perbedaan itu sudah saling dipahami dan itu yang membuat kapal dan nelayan yang ditangkap Penang Malaysia sudah bisa segera dipulangkan dan hukuman yang lebih singkat terhadap nahkoda," katanya.
Bantuan pemulangan nelayan itu, ujar Parlindungan dilatarbelakangi dengan pemikiran bahwa nelayan merupakan masyarakat ekonomi.
Parlindungan sudah melakukan sedikitnya dua kali pemulangan para nelayan asal daerah Sumatera Utara yang ditahan Pemerintah Pulau Penang, Malaysia dengan kasus yang sama yakni memasuki perairan Malaysia tanpa izin.
Kalau memungkinkan, kata Parlindungan, direncanakan pemulangan itu akan diikutimenteri terkait, Pelaksana Tugas Gubernur Sumut H T Erry Nuradi dan Ketua DPD RI.
"Tujuan keikutsertaan agar bisa membicarakan masalah warga Indonesia di Penang yang masih banyak terjadi seperti TKI ilegal dan hubungan yang kurang 'mesra' dalam beberapa tahun terakhir khususnya antara Penang dan Sumut," katanya.
Ketua Pengarah (Operasi) Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia, Laksamana Madya Maritim, Dato' Che Hassan Bin Jusoh saat di Medan, mengatakan Selat Malaka adalah milik Indonesia dan Malaysia yang digunakan sebagai lalu lintas perdagangan internasional.
"Karena milik berdua (Indonesia dan Malaysia) maka dijaga bersama," kata Dato' Che Hassan Bin Jusoh saat acara Diseminasi tentang Perlindungan Terhadap Nelayan Dalam Rangka Implementasi MoU Common Guidelines RI-Malaysia yang digelar DPD RI dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI.
Dia menegaskan, meski batas perairan antara Indonesia dan Malaysia masih dalam pembahasan, tetapi tidak mengurangi kebersamaan dalam menjaga Selat Malaka.
Untuk itu, kata dia, patroli bersama antara pihak kemanan laut Indonesia dan Malaysia harus meningkatkan keamanan.
"Malaysia sudah sering menghalau (mengusir) kapal-kapal negara lain yang berpatroli di Selat Malaka karena memang bukan wewenang mereka.Selat Malaka adalah milik Indonesia dan Malaysia," katanya.
Deputi informasi Hukum, Kerja Sama Bakamla RI, Laksma Maritim Eko Susilo Hadi, menegaskan, Bakamla terus memperkuat pengawasan di perairan Indonesia.
Dia menilai MoU soal penanganan hukum bagi nelayan antara Indonesia dan Malaysia masih harus direvisi hingga mencapai persepsi yang sama antar kedua negara.
"Namun untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan bersama memang diperlukan komunikasi yang baik dan tepat antar pejabat berwenang dalam setiap menangani kasus," katanya.
"Sosialisasi tentang "MoU" khususnya batas area penangkapan ikan dan patroli bersama adalah hal tepat untuk terus dilakukan," imbuhnya.