Jaksa KPK Tuntut Nazaruddin 7 Tahun Penjara Tekait Cuci Uang Pembangunan Wisma Atlet
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menuntut terdakwa Muhammad Nazaruddin tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 milia
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Adi Suhendi
Kasus Pembangunan Wisma Atlet dan Pencucian Uang, Jaksa KPK Tuntut Nazaruddin 7 Tahun Penjara
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menuntut terdakwa Muhammad Nazaruddin tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsidair satu tahun kurungan.
Jaksa menilai, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut terbukti menerima hadiah dari pembangunan Wisma Atlet SEA Games Jakabaring, Palembang dan Gedung Serbaguna Pemprov Sumatera Selatan serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Meminta Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, sesuai dakwaan primer kesatu, dakwaan primer kedua dan dakwaan primer ketiga," kata Jaksa KPK, Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (11/5/2016).
Dalam amar tuntutan, jaksa jaksa menilai hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Menurut Jaksa, Nazar melakukan perbuatan korupsi yang bertentangan dengan program pemerintah.
Selain itu, tindakannya dilakukan secara terstruktur dan sistematis secara politis untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
"Sementara hal-hal yang meringankan yakni, Nazaruddin mengakui perbuatannya, membantu penegak hukum sebagai saksi pelaku, dan masih memilik tanggungan keluarga," kata Jaksa Kresno.
Diketahui Nazar sapaannya, didakwa menerima hadiah dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan yang jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar.
Suami Neneng Sri Wahyuni itu juga didakwa melakukan pencucian uang dengan membeli sejumlah saham di berbagai perusahaan yang uangnya diperoleh dari hasil korupsi.
Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup berasal dari fee pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang anggarannya dibiayai pemerintah.
Dari uang tersebut, Nazaruddin membeli saham PT Garuda Indonesia sekitar tahun 2011, menggunakan anak perusahaan Permai Grup.
Nazar dituntut pidana sebagaimana diatur Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Nazaruddin dinilai melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.