NasDem Apresiasi Klarifikasi Presiden Soal Komunisme
NasDem berharap semua pihak mengakui peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu yang pernah terjadi meskipun pahit.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari mengapresiasi klarifikasi dari Presiden Jokowi bahwa pelarangan ajaran komunisme jangan sampai melanggar kebebasan ekspresi dan aspek HAM lainnya. Pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh juru bicara kepresidenan Johan Budi, Kamis (12/5/2016) lalu.
"Negara tidak boleh merawat fobia dan ketakutan yang menjadi legitimasi untuk membungkam pendapat dan pikiran," kata Taufik, Selasa (17/5/2016).
Menurutnya, kita harus berani mengakui peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu yang pernah terjadi meskipun pahit.
Taufik mensinyalir, isu komunisme yang berhembus belakangan ini merupakan upaya dari kelompok-kelompok tertentu yang tidak ingin upaya rekonsiliasi nasional terwujud dengan baik. “Komunis sebagai ideologi sudah tidak laku lagi di dunia, Partai Komunis di Indonesia juga sudah bubar. Untuk apa kita ketakutan pada sesuatu yang sudah tidak ada,” tambahnya.
Taufik juga menyayangkan adanya tindakan berlebihan terhadap buku-buku yang menuliskan tentang sejarah tragedi 65 dan setelahnya ataupun penulisan-penulisan ilmiah mengenai pemikiran Marx dan komunisme yang dimaksudkan sebagai bahan rujukan akademik.
Taufik yang juga mengajar filsafat di Universitas Indonesia menegaskan bahwa ruang berpikir dan akses pengetahuan tidak boleh ditutup, apalagi dengan alasan ketakutan yang tidak berdasar.
Dalam Nawacita, Jokowi - Jusuf Kalla berjanji untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Menurut Taufik, janji ini mesti dilaksanakan dan dicarikan formula yang terbaik agar terdapat pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah, dan pemenuhan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Simposium nasional yang digelar oleh pemerintah beberapa waktu lalu adalah langkah maju dari kepemimpinan Jokowi.
Terkait upaya rekonsiliasi ini, Taufik mengusulkan agar dapat diterima semua pihak, maka baik peristiwa sebelum dan setelah tahun 1965, dua-duanya diungkap sebagai catatan sejarah.
“Kita sampaikan apa adanya, bahwa pada masa Orde Lama terdapat ketidakmampuan negara untuk menegakkan hukum dan menjamin rasa aman dalam peristiwa-peristiwa dan konflik horizontal antara PKI dan kelompok relijius di tahun 1960-an hingga 1965. Di sisi lain, kita juga harus mengungkap bahwa pernah terjadi pembantaian, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-sewenang serta diskriminasi berkepanjangan terhadap warga negara pasca peritiwa Gerakan 30 September 1965,” usul Taufik.
Dengan pengungkapan dari kedua sisi ini, tambahnya, diharapkan semua pihak memahami bahwa tujuan pengungkapan sejarah ini adalah untuk kebaikan bangsa.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang jujur dan berani mengakui kesalahannya, kemudian memperbaiki diri agar tidak terulang lagi di masa mendatang,” tutupnya.