Jaksa Agung Beberkan Tiga Putusan MK Hambat Penanganan Perkara Korupsi
Karena putusan itu, orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dapat menguji status hukumnya di pengadilan.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa hambatan penanganan perkara tindak pidana khusus seperti dugaan korupsi sempat diadukan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR.
Prasetyo menyebutkan setidaknya ada tiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kerap menghambat upaya mengadili para pelaku dugaan tindak pidana korupsi.
Pertama adalah putusan MK nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang mengatur peninjauan kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali.
Selanjutnya adalah putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 terkait uji materi Pasal 77 huruf (a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memperluas objek praperadilan.
Karena putusan itu, orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dapat menguji status hukumnya di pengadilan.
"Ini membuat tren, setiap orang yang jadi tersangka akan mengajukan gugatan praperadilan," kata Prasetyo di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Senin (13/6/2016).
Terakhir adalah putusan MK nomor No. 33/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada Kamis (12/5/2016) silam.
Ketetapan itu berawal dari uji materi yang diajukan Anna Boentaran, istri buronan kasus korupsi Djoko Tjandra, atas Pasal 263 ayat (1) KUHAP membuat jaksa tidak bisa lagi mengajukan peninjauan kembali.
Jaksa Agung dalam kesempatan itu menyebut pihaknya akan mengacuhkan pembatasan pihak yang dapat mengajukan upaya hukum luar biasa itu.
"Kami beranggapan putusan MK itu tidak berlaku surut," kata Prasetyo.
Dia menyatakan akan tetap melakukan upaya peninjauan kembali jika nantinya dibutuhkan.
Terlebih ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Kejaksaan.
Hal itu dianggapnya dapat menjadi yurisprudensi.
"Nantinya terserah MA (Mahkamah Agung) mau terima atau tidak," katanya.
--