Tak Mungkin Pelaku Korupsi Proyek e-KTP Hanya Satu Orang
Indonesia Corruption Watch (ICW) memuji upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkatkan status kasus dugaan pengadaan KTP elektronik atau e-KTP
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) memuji upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkatkan status kasus dugaan pengadaan KTP elektronik atau e-KTP di Kementerian Dalam Negeri tahun 2011-2012.
Apalagi setelah bertahun-tahun menetapkan satu tersangka, kasus tersebut akan naik ke tahap penuntutan.
"Kami apresiasi upaya KPK melidik kasus dugaan korupsi e-KTP. Kasus ini memang membutuhkan waktu dan sumber daya yang tinggi," ujar Peneliti ICW Febri Hendri ketika dihubungi Tribun, Jumat (17/6/2016).
ICW mendesak agar KPK mengusut tuntas kasus tersebut dan tidak berhenti pada penetapan tersangka Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemdagri.
"Besarnya anggaran dan luasnya cakupan proyek, tidak mungkin pelakunya hanya satu orang," katanya.
Kasus dugaan pengadaan KTP elektronik atau e-KTP di Kementerian Dalam Negeri tahun 2011-2012 memasuki babak baru.
Setelah bertahun-tahun menetapkan satu tersangka, kasus tersebut akan naik ke tahap penuntutan.
"e-KTP mau naik. Penyidiknya kan masih menangani dua kasus," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, Jakarta, Jumat (17/6/2016).
Menurut Agus, pihaknya bahkan telah menerima nilai kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Angkanya pun sangat fantastis yang lebih dari Rp 2 triliun.
"Kita terima kerugian negaranya lebih dari Rp 2 triliun. Menghitungnya itu dari BPKP," kata Agus.
Kasus tersebut sampai saat ini masih menetapkan satu tersangka yakni Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto.
Selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), Sugiharto diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara terkait pengadaan proyek tersebut.
Nilai proyek tersebut mencapai Rp 6 triliun dan saat itu diperkirakan kerugian negara sebesar Rp 1,12 triliun.