Tugas Utama Tito Karnavian, Sikat Budaya "Nyoto" di SDM Polri
Lebih dari itu, Kapolri selanjutnya dituntut untuk menghapus kebiasaan anggota Polri mencari duit sampingan di lapangan
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat kepolisian Hermawan Sulistyo menyebut tugas utama sekaligus tantangan Kapolri terpilih penerus Jenderal Badrodin Haiti adalah meghilangkan kebiasaan atau budaya gratifikasi atau "nyoto" mutasi jabatan dan karir di lingkungan Sumber Daya Manusia (SDM) Polri semua tingkatan.
Lebih dari itu, Kapolri selanjutnya dituntut untuk menghapus kebiasaan anggota Polri mencari duit sampingan di lapangan.
Demikian disampaikan Hermawan Sulistyo di Jakarta pada beberapa waktu lalu.
Menurut Hermawan, dua kebiasaan buruk anggota Polri itu sudah terbentuk sejak proses perekrutan atau penerimaan yang dikelola Biro SDM polda hingga saat menempuh pendidikan kepolisian.
Menjadi rahasia umum, jaringan atau link dengan petinggi kepolisian dan uang pelicin diperlukan agar seorang anak muda bisa menjadi anggota Polri.
Jika Kepala Biro SDM bagian perekrutan bermoral buruk, maka uang pemulusan dan penggunaan jaringan itu bisa berhasil. Dan begitu sebaliknya.
"Karena apa? Karena pengelolaan polisi kita diserahkan ke polda. Kalau Karo SDM-nya brengsek, itu mungkin bisa terjadi. Tapi, kalau Karo SDM-nya yang sangat ketat, itu sulit terjadi. Sekalipun itu dimungkinkan terjadi, biasanya (permainan,-red) staf PNS. Misalnya, 'Pak kami minta Rp 100 juta, kalau (anak Anda) nggak jadi, saya kembalikan. Kenapa bisa begitu, karena dia punya akses ke tukang ketik. Nama ini lulus, nama itu tidak," tuturnya.
Sementara, saat menempuh pendidikan, benak para siswa telah tertanam keinginan untuk mengejar jabatan dan menjadi kaya ketika menjadi polisi atau pejabat kepolisian.
Itu dikarenakan lantaran kepolisian atau Polri merupakan lembaga yang sangat powerfull atau berkuasa dan cenderung untuk disalahgunakan.
"Kalau Anda bergaul dengan perwira-perwira muda yang masuk Sespim sekarang, pikirannya itu bukan bagaimana agar menjadi polisi profesional. Tapi, pikirannya itu bagaimana agar jadi kaya. Saya tahu itu karena saya mengajar di sana, tapi saya tidak tanggung jawab," akunya.
"Sehingga kalau kita bicara soal integritas dan kejujuran, tantangan pertama bagi Kapolri adalah SDM. Kalau masalah kulktural, perilaku dan sebagainya (di lapangan) itu hanya turunan dari persoalan di SDM. Ini tidak mudah. Karena Polri adalah organisasi terbesar di republik ini setelah PNS. Itu jumlahnya ada 430 ribu polisi," ujarnya.
Dalam catatan Hermawan, ada sekitar 1.400 polisi berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), 300 polisi berpangkat Komisaris Besar (Kombes) dan 47 polisi berpangkat jenderal bintang satu hingga tiga, yang menganggur atau non jobs.
Mereka berlomba untuk mendapatkan jabatan atau kursi. Adalah permainan pemberian uang pelicin alias 'nyoto' ke Biro SDM agar mereka bisa meraih jabatan atau kepangkatan yang diinginkan.
"Jadi, mereka sodok-sodokkan. 'Nyoto' atasannya, 'nyoto' bagian SDM. Makanya sekarang itu bagian polisi itu yang paling diincar bukan bagian Lantas, tapi SDM. Karena itu bisa untuk jenjang karir, bagian itu bisa atur-atur posisi orang dan bisa dapat 'nyoto' lagi nantinya. Jadi, bagian di SDM Polri adalah prestise paling tinggi," bebernya.
"Jadi, PR Kapolri berikutnya adalah beres-beres di SDM. Kenapa, karena bagian ini tik-tak. Kata orang SDM, 'Hai, kamu aja yah yang kita angkat jadi kapolres, nanti kalau kamu bosan balik jadi SDM lagi. Dan berikutnya kamu pindahin aku ke kapolres sana ladi," sambungnya.
Menurutnya, adalah pandangan yang salah jika 'lahan basah' Polri berada di bagian Lalu Lintas. Justru sebagian polisi mengincar bagian SDM. "Nah, yang paling sengsara dan paling kering itu Sabhara. Kalau yang di Yanma itu polisi yang lagi dihukum. Kalau bagian narkoba sudah nggak lagi karena rebutan kapling dengan BNN," ujarnya.
Hermawan mengatakan dirinya bisa menyampaikan hal ini lantaran selain menjadi Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik LIPI, dirinya juga menjadi dosen di PTIK, Sespim dan Universitas Bhayangkara. Selain itu, ia juga berteman dengan sejumlah petinggi Polri.
Ia pun mempersilakan masyarakat atau lembaga melakukan survei terhadap para calon siswa dan siswa didik sekolah Polri jika ingin membuktikan pernyataannya ini.
Menurut Hermawan, persoalan ini juga berkaitan anggaran Polri. Saat ini, dengan jumlah anggota 430 ribu, Polri dituntut untuk mengejar ketetapan Bappenas mengenai angka rasio keberadaan polisi dan jumlah penduduk, yakni 1:575. Di mana, 1 polisi diharapkan bisa melayani 575 orang penduduk. Padahal, idealnya kehadiran seorang polisi di tengah masyarakat, khususnya kota besar adalah 1:300.
Sementara, anggaran Polri sekitar Rp67 triliun pada 2015 untuk pengeluaran gaji dan biaya operasional tidak seimbang. Sebab, lebih didominasi untuk biaya gaji anggota atau pegawai.
"Ketetapan Bappenas itu pun masih jauh di bawah standar PBB, yakni 1:450. Nah, sekarang itu Polri baru bisa 1:640-an. Untuk mengejar ke sana, anggaran rutin yang disedot untuk gaji dan biaya operasional. Pada, dua tahun lalu untuk gaji menyedot anggaran 67 persen. Sekarang setelah diperbaiki dan diperbaiki, sudah turun jadi 47 persen dan mengarah ke angka ideal 45 persen ke bawah," jelasnya.
Menurutnya, minimnya anggaran dan tuntutan tuntutan penambahan jumlah anggota Polri untuk angka rasio ideal itu berimbas pada penegakan hukum dan pelayanan ke masyarakat sampai dengan adanya oknum polisi yang mencari uang sampingan di lapangan.
"Artinya apa? Kalau dikelola seperti ini terus, business by usually, saya yakin sampai Jokowi turun 2019 nanti, jangan mimpi Anda punya polisi yang baik. Karena apa? Karena, polisi dikasih uang gaji saja tapi uang operasional ngggak ada, ini seperti 'Ayam kampung dilepas cari makan sendiri'. Yah, kejadiannya seperti yang sekarang ini," ujarnya.
"Sekarang jatah anggaran bahan bakar mobil patroli polisi per hari untuk 10 liter. Kira-kira itu jangkauannya 60 Km. Jadi, kalau ada kejahatan di jarak 35 Km saja, polisinya nggak bisa balik. Jadi, jangan mimpi ada polisi yang seperti malaikat," tandasnya.
Menurut Hermawan, masalah kronis kepolisian ini disadari oleh para petinggi Polri. Namun, belum banyak dari mereka yang mampu menyelesaikan masalah ini.
Hermawan optimis Tito Karnavian mampu menyelesaikan atau paling tidak meminimalisir masalah-masalah kronis kepolisian ini. Sebab, Tito telah memulainya saat menjabat Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Administrasi (Asrena) pada Juli 2014-Juni 2015.
"Tito Karnavian ketika jadi Arsena, berusaha mendorong agar anggaran untuk gaji 67 persen menjadi 45 persen. Dan dalam setahun berhasil, di antaranya dengan moratarium penerimaan anggota Polri," ujarnya.
Setelah dipilih sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi beberapa hari lalu, Tito Karnavian sempat mengatakan, telah menyiapkan sejumlah program kerja prioritas jangka pendek satu tahun dan jangka panjang lima tahun.
Semua program tersebut bermuara pada program reformasi Polri, sebagaimana arahan Presiden Jokowi.
Program reformasi Polri itu di antaranya, reformasi birokrasi, mentalitas anggota dalam pelayanan kepada masyarakat, menekan semaksimal mungkin budaya korupsi anggota dan menekan angka pelanggaran anggota.
Ia berjanji akan membuat sistem dan mekanisme yang baik dan objektif untuk merealisasikan program-program tersebut. Di antaranya sistem perekrutan anggota, sistem karir atau mutasi hingga sistem sanksi dan penghargaan (reward and punishment) anggota.
"Kalau reformasi Polri ini berjalan dengan baik, maka output (hasilnya) akan baik, mulai pelayanan publik mulai merrasakan, profeisonalisme pengakan hukum, serta situasi Kamtibnas yang lebih baik karena polisinya baik," kata Tito.
Bahkan, Tito manyatakan akan berusaha menghapus budaya pemberian gratifikasi atau 'nyoto' dalam perekrutan dan mutasi jabatan di Biro SDM Polri, seperti disampaikan oleh Hermawan Sulistyo.