Trauma dan Takut Jadi Alasan Sejumlah Orangtua Tolak Vaksinasi Ulang
"Sudah harga vaksinnya mahal, eh malah palsu. Rupanya meski mahal, tapi tidak terjamin," ujar Raeni.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vaksinasi ulang untuk para korban vaksin palsu ditolak oleh orangtua pasien. Trauma dan takut menjadi korban lagi menjadi salah satu alasannya.
Kementerian Kesehatan sebelumnya memang telah menginstruksikan tiga rumah sakit di Jakarta dan Kabupaten Bekasi untuk memvaksinasi ulang pasien.
"Saya masih trauma dengan adanya vaksinasi ulang ini, saya khawatir nanti kejadian tersebut terulang kembali," ujar Catur (35) orangtua pasien di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Sayang Bunda, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi.
Kementerian Kesehatan telah menginstruksikan RSU Kecamatan Ciracas, RS Harapan Bunda Kramatjati dan RSIA Sayang Bunda Bekasi untuk memvaksinasi ulang pasien.
Alasannya, ratusan pasien yang pernah vaksin di sana beberapa waktu lalu menggunakan vaksin palsu.
Catur melanjutkan, sehari sebelumnya ia dihubungi oleh satgas Kementerian Kesehatan agar melakukan vaksinasi ulang anak pertamanya yang berusia tujuh bulan. Namun, karena masih trauma dia pun urung memvaksinasi ulang.
"Nanti saja saya vaksin ulang di Puskesmas atau Posyandu milik pemerintah saja," kata Catur.
Senada diungkapkan oleh Raeni (31) orangtua pasien lainnya di rumah sakit setempat.
Dia sengaja memilih vaksinasi ulang anaknya yang baru berusia empat bulan di rumah sakit milik pemerintah karena lebih terjamin kualitasnya.
"Pokoknya saya vaksin ulang di layanan kesehatan milik pemerintah saja daripada milik swasta," kata Raeni.
Seingatnya, terakhir memvaksin buah hatinya pada bulan lalu dengan biaya Rp 1 juta. Saat itu ia memvaksinasi anaknya dengan jenis vaksin Tripacel.
"Sudah harga vaksinnya mahal, eh malah palsu. Rupanya meski mahal, tapi tidak terjamin," ujar Raeni.
Mengadu ke DPR
Sejumlah orangtua korban vaksin palsu juga mendatangi Gedung DPR kemarin. Para orangtua ingin berkeluh kesah mengenai penanganan vaksin palsu yang diduga diberikan pihak rumah sakit kepada anak mereka.
Orangtua yang tergabung dalam Aliansi Korban Vaksin Palsu itu kemudian ditemui Ketua DPR Ade Komarudin yang didampingi wakil ketua Fahri Hamzah, Agus Hermanto dan Fadli Zon.
Ada pula, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf dan anggota Komisi IX DPR John Kenedy Aziz.
Alderi Zulfikri, orangtua yang anaknya diduga menjadi korban vaksin palsu di RS Mutiara Bunda mengeluhkan tidak adanya kejelasan mengenai kasus tersebut.
"Apa yang terjadi sesungguhnya terhadap anak-anak tentang penemuan vaksin palsu. Anak saya lahir disana dua orang tahun 2008 dan 2015. Saya mencari yang terbaik, kita sudah bayar dan yakin ini obat yang terbaik," kata Alderi.
Alderi mengaku kecewa dengan ditemukannya vaksin palsu di rumah sakit tersebut. Padahal, kedua anak Alderi melakukan imunisasi rutin di rumah sakit Mutiara Bunda.
Ia menuntut pihak rumah sakit memberikan medical check up kepada anaknya sebelum divaksin ulang.
"Kita enggak mau menduga-duga anak sakit gara-gara vaksin palsu," ujar Alderi.
Sedangkan orangtua korban vaksin palsu dari RS Harapan Bunda August Siregar mengatakan dirinya langsung mendatangi RS saat Menkes Nila Moeloek mengumumkan rumah sakit penerima vaksin palsu.
"Kami langsung bernegosiasi, kalau anarkis maka pihak RS lari dari tanggungjawab. Kami paksakan buat surat pernyataan," kata August.
August mengatakan aliansi orangtua korban vaksin palsu meminta RS Harapan Bunda menjalankan tuntutan.
Tujuh tuntutan itu antara lain pihak Kementerian Kesehatan menemui orangtua korban. Diperlukannya medical check up. Vaksinasi ulang bila medical check up menyatakan adanya vaksin palsu.
Semua biaya korban dampak vaksin palsu menjadi tanggungjawab rumah sakit. August mengatakan pihaknya juga meminta penjelasan dampak dari vaksin palsu dari tim independen.
Orangtua korban vaksin palsu, katanya, juga tak melihat keseriusan RS Harapan Bunda. Tuntutan lainnya yakni pelaku yang terlibat dalam kasus vaksin palsu diberi sanksi.
"Bila tidak dijalankan maka kami lakukan advokasi melalui KIP, Ombudsman, Komnas HAM. Kami dipersulit saat ingin bertemu presiden saat di Ciracas," kata August.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.