Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Presiden Jokowi Diminta Hentikan Eksekusi Mati

YLBHI dan FITRA mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan eksekusi terpidana mati yang berpotensi pada penyelewengan anggaran negara.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Presiden Jokowi Diminta Hentikan Eksekusi Mati
http://gbcghana.com
ilustrasi hukuman mati 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan FITRA mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan eksekusi terpidana mati yang berpotensi pada penyelewengan atau penyalahgunaan anggaran negara akibat double budget di dua institusi untuk satu kegiatan.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani mengatakan hasil investigasi yang dilakukan oleh YLBHI dan FITRA, membuktikan paling tidak ada dua anggaran di dua institusi yang terlibat, yakni Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI (Polri).

"YLBHI dan FITRA menegaskan kepada Presiden Joko Widodo, untuk menghentikan eksekusi terpidana mati," tegas dia kepada Tribunnews, Selasa (26/7/2016).

Menurut Julius, adanya dua anggaran di dua institusi untuk satu kegiatan yang sama ini (double budget) jelas berpotensi pada penyelewengan atau penyalahgunaan anggaran negara.

Selain itu, angka yang muncul untuk anggaran eksekusi terpidana mati juga tidak wajar, luar biasa besar jumlahnya.

Di Kejaksaan Agung sebesar Rp 200 juta dan di Polri sekitar Rp 247 juta.

Berita Rekomendasi

Padahal di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan terkait penghematan APBN hingga mensinyalkan pengurangan PNS, lalu ada teguran atas pendapatan pajak yang minim, target kenaikan cukai.

"Bukan berarti jika negara punya anggaran cukup maka eksekusi menjadi tidak masalah," ucapnya.

Tapi adanya inkonsistensi sikap negara atau Presiden Jokowi terkait anggaran negara ini menjadi bukti adanya politisasi atas eksekusi terpidana mati yang jelas bukan untuk tujuan keadilan hukum dan masyarakat.

Selain juga, tentunya, anggaran eksekusi terpidana mati yang luar biasa besar ini juga bertentangan dengan efektivitas dan efisiensi proses dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System), yang saat ini menghadapi persoalan minimnya anggaran.

Kejaksaan Agung selaku eksekutor misalnya, bukan tidak mengalami masalah terkait anggaran kelembagaan. Tahun 2016 Kejaksaan diberi anggaran hanya untuk 81.869 perkara, padahal tahun 2015, anggaran Kejaksaan dialokasikan lebih dari 120.000 perkara.


Satuan anggaran Kejaksaan pun bermasalah, yang dialokasikan hanya sebesar Rp 3 sampai dengan Rp 6 juta disamaratakan untuk seluruh wilayah Kejaksaan Negeri tanpa ada pembedaan jenis perkara. Sementara anggaran untuk eksekusi satu terpidana mati adalah Rp 200 juta.

Selain itu imbuhnya YLBHI dan FITRA mendorong Presiden Jokowi melakukan moratorium eksekusi terpidana mati. Dan mendorong pengkajian ulang terhadap penerapan hukuman mati yang bertentangan tidak hanya pada Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi dan efektivitas dan efisiensi proses dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System).

"Tapi juga komitmen negara dalam Pemberantasan Korupsi lewat anggaran negara," ujarnya.

Presiden Jokowi juga diminta bersikap konsisten pada kebijakan penghematan anggaran negara (APBN), peningkatan target pajak, sehingga tidak membuang anggaran lewat eksekusi terpidana mati.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas