Farhat Abbas Berpikir Eksekusi Mati Terhadap Kliennya Seck Osmane Akan Ditunda
"Saya sudah tenang-tenang dan berpikir pasti mereka akan menunda, tapi mereka menggunakan alasan lain yang jelas Jumat dini hari tadi dia dieksekusi,"
Penulis: Yurike Budiman
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yurike Budiman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pascaeksekusi terpidana mati dini hari tadi, kuasa hukum Seck Osmane, Farhat Abbas mengaku tak sempat melihat kliennya.
"Harusnya rencana dari Sabtu dini hari, menjadi Jumat dini hari. Saya tidak sempat melihat klien saya," kata Farhat saat ditemui Tribunnews.com di Rumah Duka St Carolus, Jakarta Pusat, Jumat (29/7/2016).
Ia optimistis kliennya tidak akan dieksekusi pada Jumat dini hari dikarenakan adanya surat permohonan grasi yang telah dilayangkan Farhat ke Kejaksaan beberapa hari sebelumnya.
"Saya sudah tenang-tenang dan berpikir pasti mereka akan menunda, tapi mereka menggunakan alasan lain yang jelas Jumat dini hari tadi dia dieksekusi," ujarnya di tempat persemayaman jenazah di Ruang Bernadet sore tadi.
Menurutnya, sesuai dengan konstitusi yang ada, kliennya tidak boleh dieksekusi mati hingga ada jawaban resmi dari Presiden Joko Widodo.
"Saya yakin dia tidak akan dieksekusi tadi malam. Kalau itu dilakukan namanya pembunuhan dan melanggar hak konstitusi," katanya.
Sebelumnya, Farhat mengaku telah bertemu dengan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Adi Toegarisman.
Dalam pertemuan tersebut, Adi meminta surat resmi pengajuan grasi dari Farhat sebagai dasar penundaan eksekusi.
"Jaksa Agung juga mengetahui bahwa PN Jaksel pada 27 Juli telah menerima permohonan grasi dari Osmane dan Zulfikar juga sudah diterima. Ternyata 29 Juli dinihari mereka tetap melaksanakan eksekusi, saya tidak tahu alasannya," kata mantan suami penyanyi Nia Daniati itu.
Seperti diketahui, Seck Osmane menjadi salah satu terpidana mati yang tewas setelah dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (29/7/2016) dini hari.
Ia menjadi terpidana atas kasus kepemilikan dan pengedaran heroin seberat 2,4 kilogram.
Vonis tersebut dijatuhkan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu 21 Juli 2004.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan perbuatan terdakwa asal Nigeria tersebut terbukti melanggar Pasal 82 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman mati.