Kaukus Pancasila Minta Pemerintah Atur Pengeras Suara Kegiatan Keagamaan
Kaukus Pancasila memahami bahwa kekerasan yang terjadi di Tanjung Balai pada 29 Juli lalu didorong oleh kesalah-pahaman
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kaukus Pancasila sangat prihatin atas kekerasan berlatar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Pemerintah pun diminta untuk segera memulihkan situasi keamanan dan memberikan perlindungan kepada para korban, serta melakukan upaya yang serius untuk menegakan hukum kepada para pelaku dan mempromosikan toleransi antar masyarakat.
"Kaukus Pancasila memandang bahwa kekerasan terhadap rumah ibadah dan barang milik komunitas Tionghoa di Tanjung Balai telah melukai rasa kebangsaan kita dan mencederai nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta Sila Persatuan Indonesia. Peristiwa tersebut menunjukan adanya tantangan terhadap kebhinekaan bangsa Indonesia, yang harus disikapi secara serius oleh segenap elemen Negara, khususnya Pemerintah," kata anggota Kaukus Pancasila, Eva Kusuma Sundari melalui pernyataannya, Senin (1/8/2016).
Eva menuturkan, Kaukus Pancasila memahami bahwa kekerasan yang terjadi di Tanjung Balai pada 29 Juli lalu didorong oleh kesalah-pahaman terkait volume pengeras suara masjid yang dirasa mengganggu seorang warga berlatar etnis Tionghoa.
Namun yang disayangkan kemudian direkayasa sedemikian rupa melalui penebaran informasi yang palsu dengan tujuan mendorong kebencian dan kerusuhan, sehingga berakibat pada rusaknya rumah-rumah ibadah umat Budha yang disertai penjarahan.
"Kaukus Pancasila melihat bahwa ada dua permasalahan utama yang mendorong terjadinya kerusuhan, pertama; masalah yang terkait dengan pengeras suara, dan kedua; masalah yang terkait dengan siar kebencian," ujarnya.
Politikus PDI Perjuangan itu menuturkan, terkait pengeras suara, Kaukus Pancasila memandang bahwa kegiatan keagamaan umat manapun tidak semestinya dilakukan secara berlebihan, seperti penggunaan pengeras suara yang mungkin dapat mengganggu pihak lain.
Sejalan dengan pandangan Kaukus, Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 telah mengatur bahwa penggunaan pengeras suara ke luar supaya tidak meninggikan suara yang berakibat pada hilangnya simpati pihak lain, dan hanya berlaku untuk panggilan azan, sementara untuk kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya seperti doa dan khutbah hanya dibolehkan menggunakan pengeras suara ke dalam.
Anggota Kaukus Pancasila lainnya, Maman Imanulhaq menegaskan mengeraskan panggilan adzan jangan sampai hanya menimbulkan 'polusi suara' yang justru menimbulkan antipati umat agama lain.
Dikatakannya, panggilan Adzan sebaiknya dilakukan oleh muadzin yang bersuara merdu dengan menggunakan pengeras suara secara tidak berlebihan.
Maman menilai bahwa instruksi Dirjen Bimas Islam ini kurang tersosialisasi ke masyarakat.
"Semestinya pengaturan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan diatur dalam peraturan yang lebih tinggi agar lebih tersosialisasi dan dapat ditegakan lebih tegas," ujar Maman.
Eva melanjutkan, ia memberi perhatian khusus terhadap beredarnya informasi palsu untuk mendorong kebencian dan kerusuhan.
Eva menuntut kepolisian untuk menindak pula pihak-pihak yang menyiarkan informasi palsu, sehingga mendorong kebencian yang berujung pada kerusuhan.
"Kepolisian memiliki seluruh instrumen yang diperlukan untuk menindak para pelaku siar kebencian. Proses hukum jangan hanya diarahkan pada pelaku kekerasan di lapangan saja. Hal ini tidak akan menyelesaikan persoalan," ujar Eva.
Terkait hal ini, Kaukus kembali mengingatkan bahwa Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup untuk memberantas siar kebencian.
Selain telah diatur dalam Pasal 20 Kovenan Hak Sipil dan Politik, siar kebencian merupakan suatu tindakan yang dapat dipidana menurut Pasal 157 KUHP.
Terlebih, Kapolri telah menerbitkan Surat Edaran tentang Ujaran Kebencian yang semestinya dapat menjadi pedoman untuk menindak pihak-pihak yang menyiarkan informasi palsu untuk mendorong kebencian.