Cerita Butet, Mengajar Murid SD di Pelosok Tanah Air, dari Papua sampai Jember
Tahun 2007, Butet menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku berjudul "Sokola Rimba : Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba".
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Namanya Saur Marlina Manurung atau lebih akrab dipanggil Butet Manurung.
Siapa yang tidak mengenal perempuan lulusan Antropologi Unpad ini?
Ya, Butet dikenal gigih atas dedikasinya menjadi guru bagi Suku Anak Dalam di pedalaman.
Tahun 2007, Butet menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku berjudul "Sokola Rimba : Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba".
Di tahun 2013, Sokola Rimba diangkat menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Riri Riza dan mendapat banyak apresiasi dari masyarakat Indonesia.
Saat ditemui, Sabtu (26/8/2016) di kompetisi Gramedia Reading Community Competition 2016 yang berlangsung di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Butet sempat berbagi pengalaman.
Di hadapan para peserta dan finalis Gramedia Reading Community Competition 2016, Butet bercerita soal betapa menarik, unik, dan lucunya mengajar di pedalaman mulai dari Jambi, Aceh, Papua hingga Jember.
"Saya tujuh bulan mengajar Orang Rimba, belum ada yang mau membaca. Ada yang bilang buku itu jendela dunia, kalau mereka yang tidak bisa baca bagaimana? Orang Rimba kenal huruf saja tidak," terangnya.
Butet menceritakan awal mulai masuk ke Orang Rimba, dia harus sabar untuk bisa mendekatkan diri.
Pasalnya Orang Rimba menganggap bolpoin sebagai "setan bermata kucing"
Rupanya mereka punya pengalaman buruk sejak ratusan tahun sehingga muncul anggapan siapapun yang memakai bolpoin pasti sial. Bagi mereka orang baru yang bisa membaca dan menulis pasti jahat.
"Mereka bilang balpoin itu setan bermata runcing. Mereka anggap semua yang bisa baca tulis itu orang jahat dan sering menipu mereka. Jadi saat saya pertama disana, saya harus tinggal terpisah bangun gubuk sendiri dan jalan kaki sekitar setengah jam baru bisa ke tempat mereka," terangnya.
Kemudian, Butet juga bercerita soal dirinya yang mengajar di Papua. Di sana ia terkendala dengan kondisi geografis.
Dimana Butet harus tiga kali naik pesawat hingga sampai di lokasi mengajar.
Dia mengatakan, di sebuah Desa di Asmat, Papua hanya ada satu murid yang bisa membaca dan murid itu adalah migran, bukan asli papua.
Menurutnya, di Papua, anak-anak lebih senang bermain.
"Di Papua ada satu desa di Asmat, ini yang bisa baca hanya satu murid, ini pun Migran. Sementara murid yang lain lebih senang jumpalitan di sungai, naik-naik pohon. Yah begitu keadaan di lapangan yang saya temui," seloroh Butet.
Butet yang mengaku jago naik motor trail ini juga berbagi cerita soal ada suatu Suku di Sulsel, yakni Suku Kajang yang mereka menggunakan pakaian hitam-hitam sebagai lambang kesederhanaan.
Butet sangat menyayangkan saat anak-anak dari Suku ini tidak bisa bersekolah hanya karena mereka harus menggunakan segaram putih merah dan tidak boleh menggunakan pakaian hitam-hitam.
"Mereka mau sekolah, tapi pihak sekolah tetap mengharuskan pakai putih merah. Lalu mereka tidak bisa sekolah, ini kan kasihan. Hanya karena aturan," terangnya.
Butet menambahkan ia bersama teman-temannya kini tengah fokus mengajar di wilayah Jember, Jawa timur sejak Januari 2016 lalu.
Menurutnya di wilayah Jember ternyata banyak yang masih buta huruf.
"Di Jember ternyata buta huruf masih tinggi, silahkan teman-teman relawan yang mau gabung bersama kami di Jember," ungkapnya.