Putusan MKD Pulihkan Nama Baik Setya Novanto Dinilai Aneh
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia mempertanyakan putusan MKD DPR yang memulihkan nama baik Ketua Umum Golkar Setya Novanto.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mempertanyakan putusan MKD DPR yang memulihkan nama baik Ketua Umum Golkar Setya Novanto.
"Makanya aneh saja. Saya kira ada yang kurang teliti dalam keputusan yang dibuat MKD tersebut," kata Peneliti Formappi Lucius Karus melalui pesan singkat, Kamis (29/9/2016).
Ia menilai keputusan tersebut seolah-olah pelanggaran etik terhadap Novanto hanya didasarkan pada satu-satunya alat bukti yakni rekaman. Padahal, dalam proses persidangan terdapat saksi yang hadir dan menguatkan alat bukti elektronik yang ada.
"Jadi membatalkan seluruh putusan hanya karena ada putusan MK yang menyatakan soal posisi alat bukti rekaman dalam persidangan MKD tidak sah, saya kira menyesatkan," kata Lucius.
Ia juga mempertanyakan sikap MKD yang menganulir keputusannya sendiri. Hal itu dilakukan hanya karena alat bukti yang tidak sah.
Lucius mengingatkan alat bukti yang tidak sah tidak serta merta menghapus pelanggaran etik yang sudah diputuskan KPD sebelumya.
"Selain alat bukti juga ada pengakuan langsung dari saksi," katanya.
Menurut Lucius, keputusan memulihkan harkat martabat Novanto menjadi pertaruhan harkat dan martabat MKD.
"MKD semakin memperlihatkan ketidaksterilannya terhadap intervensi atau pengaruh pihak lain," katanya.
Sebelumnya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan memulihkan nama baik Politikus Golkar Setya Novanto. Keputusan tersebut diambil dalam rapat yang digelar MKD DPR Selasa 27 September 2016.
"Iya sudah kemarin. Jadi memang ada rapat di MKD menindaklanjuti permohonan Pak Setnov ke MKD untuk peninjauan kembali (PK) terhadap proses persidangan yang dilakukan MKD. Atas pengaduan SS (Sudirman Said) dengan bukti rekaman," kata Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding ketika dikonfirmasi, Rabu (28/9/2016).
Sudding mengatakan putusan tersebut dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa bukti rekaman tidak bisa dijadikan alat bukti.
"Rekaman itu tidak sah dan tidak mengikat," kata Politikus Hanura itu.